Hakim Praperadilan Merampas Wewenang KPK

Bagikan Artikel ini

Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) telah merampas wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menetapkan status tersangka terhadap mantan Wakil Presiden (Wapres), Budiono.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus sampaikan ini dalam keterangan persnnya yang diterima media ini, Kamis (12/4/2018).

Menurut Petrus, putusan praperadilan PN Jaksel yang memerintahkan KPK untuk menetapkan mantan Wapres Budiono sebagai tersangka dalam kasus korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Penetapan Bank Century sebagai Bank gagal berdampak sistemik.

Putusan tersebut sebagai putusan hakim yang sudah melampaui wewenang praperadilan yang diberikan KUHAP. Bahkan boleh dikatakan sebagai telah merampas wewenang penyidik KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.

“Hakim Praperadilan bukanlah penyelidik dan bukan penyidik, karena itu kewenangan menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak sepenuhnya menjadi wewenang secara dominus litis penyidik. Karena wewenang itu tidak pernah diberikan kepada instansi lain termasuk hakim praperadilan untuk menentukan,” kata Petrus.

Advokat Peradi ini berargumen, hakim praperadilan PN Jaksel telah menyalahgunakan wewenang praperadilan dan telah bertindak melampaui wewenang dengan memperluas sendiri wewenangnya. Bahkan mengambilalih wewenang ketua Mahkamah Agung (MA) terkait upayanya menciptakan hukum acara guna memperluas wewenang praperadilan. Adanya perluasan wewenang praperadilan untuk mengeluarkan perintah kepada penyidik KPK guna menetapkan status tersangka kepada mantan Wapres Budiono.

“Ini jelas sebagai sebuah penyalahgunaan wewenang secara berlebihan terhadap lembaga praperadilan tanpa hukum acara yang mengaturnya secara jelas,” tandas Petrus.

Dia menegaskan, MA harus merespons sikap Hakim Effendi Muktar, hakim praperadilan PN Jaksel dalam perkara Praperadilan No. 24/Pid.Prap/2018/PN.JS. Karena telah mengintervensi wewenang penyidik KPK dengan memperluas sendiri wewenang praperadilan. Hakim Efendi Muktar tidak boleh menganggap bahwa putusan itu karena ada kekosongan hukum untuk mengontrol penyidik KPK dalam kerja penyidikan.

“Semestinya harus dipahami, terhadap kekosongan hukum acara dimaksud, hanya boleh diatasi dengan menciptakan hukum baru yaitu dengan UU atau dilakukan melalui Peraturan MA berdasarkan ketentuan pasal 79 UU MA,” tegasnya.

Praktisi Hukum, Anton Raharusun menambahkan, dalam praktek peradilan, perluasan wewenang hakim termasuk hakim praperadilan untuk mengisi kekosongan hukum acara, tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang oleh hakim. Karena UU MA RI telah memberikan wewenang itu kepada ketua MA dalam bentuk peraturan MA. Hal ini diatur di dalam ketentuan pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA.

Apalagi, lanjut dia, KPK tidak punya wewenang untuk menghentikan penyidikan tindak pidana korupsi. UU KUHAP dan UU KPK, penetapan status seseorang menjadi tersangka hanya diberikan kepada penyelidik dan penyidik di kepolisian, kejaksaan dan KPK, sama sekali tidak diberikan kepada hakim praperadilan.

“Putusan praperadilan PN Jaksel secara tidak langsung telah mengintervensi wewenang penyidik seluruh instansi penyidik termasuk KPK yang oleh UU diberi wewenang berdasarkan pertimbangan subyektif untuk menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak,” terang Anton.