LBH APIK NTT minta beri sanksi pidana bagi siapapun yang berniat alihkan kasus kekerasan seksual Vikaris ke non litigasi

Bagikan Artikel ini

Kupang, NTTOnlinenow.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan (APIK) NTT meminta aparat kepolisian memberikan sanksi pidana bagi orang perorangan atau korporasi, baik itu lembaga maupun aparat penegak hukum (APH) itu sendir iyang berniat mengalihkan kasus kekerasan seksual ini kearah ranah non litigas i(restorative justice), sebagaimana diaturdalampasal 19 UU TPKS.

Demikian Siaran Pers LBH APIK NTT tentang PERNYATAAN SIKAPLBH APIK NTT ATAS KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DI NUSA TENGGARA TIMUR , ditandatangani Direktris LBH APIK NTT, Ansi Damaris Rihi Dara, SH, yang diterima Redaksi media ini, Jumat (9/9).

Ditgaskan APH wajib menggunakan hukum acara yang diatur dalam UU TPKS, walaupun kasus perkosaan tidak diatur normany adalam UU TPKS. Ini artinya APH perlu melihat syarat penetapan keterangan saksidan/atau korban sebagai cuku puntuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya, serta perluasan alat bukti sebagaimana di atur dalam pasal 23 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU TPKS.

Mengawali siaran persnya dijelaskan Lembaga Bantuan Hukum Assosiasi Perempuan Indonesia untukKeadilan Nusa Tenggara Timur (LBH APIK NTT) merupakan lembaga yang fokus pada upaya perlindungan perempuan dan anak. Salah satu misi yang diemban oleh LBH APIK NTT adalah mengupayakan hukum yang berkeadilan gender. Terkaita danya ketimpangan gender, LBH APIK NTT mengambil sikap berpihak pada perempuan dan anak, termasuk memberikan pendampingan hokum sertamengupayakan adanya perubahan hukum yang berkeadilan.

LBH APIK NTT melihat kekerasan seksual di NTT sebagai suatu momok bagi upaya perlindungan perempuan dan anak. Catatan akhi rtahun LBH APIK NTT dari tahun 2013 hingga 2021 menempatkan kasus KDRT, Perkosaan dan Percabulan dalam tiga mayoritas kasus yang ditangani oleh LBH APIK NTT.

Riset media yang dilakukan juga menunjukkan data yang sama, di mana kekerasan seksual menjadi kasus yang paling dominan terjadi di provinsi yang terkenal dengan budaya ketimurannya. Bentuk dan modus kekerasan seksual semakin beragam. Begitu juga dengan pelaku. Umumnya kasus Kekerasan Seksual dilakukan olehorang terdekat maupun orang yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat dan umat.

Saat ini, kita dihebohkan dengan viralnya kasus kekerasan seksualyang dilakukan oleh seoran gcalon pendeta (vicaris) kepada anak remaja di Kabupaten Alor. Kasus ini seakan membuka tabir kejahatan seksual yang dilakukan oleh “para penjaga moral“ yang selama ini tersembunyi dengan alasan tabu untuk diungkapkan.

Selain itu, kasus kekerasan yang terjadi di lingkup lembaga keagamaan, sulit terungkap karena penafsiran terkait ajaran agama yang memisahkan ranah “ilahi“ (agama) dengan ranah “duniawi“ (hukum). Akibatnya kasus-kasus yang terjadi di lembaga keagamaan, tidak dilaporkan keaparat penegak hukum, tetapi diselesaikan secara restorative justice.

Tanpa disa dari bahwa upaya pemaa fyang dilakukan dengan dasar ajaran agama, telah menghasilkanangkake kerasan seksua lyang terus meningkat di Provinsi NTT. Pelaku akan dengan mudah melakukan kekerasan seksual karena sadar betul bahwa kasusnya akan diselesaikan secara tertutup, yang melibatka npetingg iagama, korban dan/atau keluarga korban, pelaku dan/ata ukeluarga pelaku. Efek jera yang menjadi salah satu alasan penindakan hukum tidak akan tercapai. Sanksi sosialpun tidak akan didapat karena penyelesaiannya dilakukan secara tertutup melalu imekanisme pastoral.

Kasus perkosaan, percabulan, ITE dan Pornografi yang dilakukan olehVicaris GMIT atas nama Yanto Snae sebagai entri point bagi LBH APIK NTT untuk menyatakan sikap LBH APIK terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan olehYanto Snae dan para pelaku lainnya, serta harapan perubahan bagi lembaga/instansi untuk lebih memperhatikan mekanisme perlindungan bagi perempuan dan anak dari para predator seksual yang bersembunyi di balik label rohaniawan atau “penjaga moral“.

Karena itu, LBH APIK dalam pernyataansikap LBH APIK NTT menegaskan mengutuk keras segala tindakan kekerasanseksual, termasu kkekerasan seksual yang dilakukan oleh Yanto Snae.
Mengingat kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yanto Snae terjadi pada saat pelaku sedang menjalan ivikariat, maka lembaga bersangkutan memiliki kewajiban moril untuk melakukan tindakan pendisiplinan sesusai dengan ketentuan yang berlaku pada lembaga, tanpa mengesampingkan upayapenegakan hukum. Berharap lembaga tempat Yanto Snae bernaung menjad igarda terdepan untuk melaporkan kasus ini kepada aparat hukum, sebagaimana amanat UU nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak PidanaKekerasanSeksual (UU TPKS).

Pertama, Meminta Aparat Kepolisian untuk segera menahan dan memproses secara hukum pelaku kekerasan seksual dengan tidak melakukan upaya restorative justice, sebagaimanadiaturdalampasal 23pasal 19 UU TPKS yang berbunyi “Perkara Tindak PidanaKekerasan Seksua ltidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecual iterhadap pelak uAnak sebagaimana diaturdalamUndang-Undang“.

Kedua, memberikan sanksi pidana bagi orang perorangan atau korporasi, baik itu lembaga maupun aparat Penegak Hukum (APH) itu sendiri yang berniat mengalihkan kasus kekerasan seksual ini kearah ranah non litigas i(restorativejustice), sebagaimana diatur dalam pasal 19 UU TPKS.

Ketiga, APH wajib menggunakan hukum acara yang diatu rdalam UU TPKS, walaupun kasus perkosaan tidak diatur normanya dalam UU TPKS. Ini artinya APH perlu melihat syarat penetapan keterangan saksi dan/atau korban sebagai cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jikad isertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya, serta perluasan alat bukti sebagaimana diatur dalampasal 23 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU TPKS

Keempat, semua pihak perlu mengawal kasus ini termasuk kasus-kasus kekerasan seksual lainnya, agar hak-hak korban seperti hak didampingi oleh pendamping, hak restitusi, dan layanan pemulihan dengan melibatkan LPSK. Termasukjuga hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan hak perlindungan hukumnya.

Kelima,Menghimbau kepada wartawan dan/atau masyarakat yang turut mempublikasikan kasus kekerasan seksual termasuk kekerasanseksual yangdilakukan oleh Yanto Snae agar tidak menyampaikan identitasanak korban, karena tindakan tersebebut bisa diancam hukuman penjara maksimal 5 (lima) Tahun (pasal 97 Jo. Pasal 19 ayat (1) UU nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Adapun identitas yang tidak boleh disebarluaskan melalui media cetak maupun eletronik adalah: nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah dan hal lain yang dapa tmengungkap jati diri anak (pasal 19 ayat (2) UU SPPA

Keenam Lembaga/korporasi harus membuat kebijakan perlindungan perempuan dan anak dan menciptakan ruangam andar ikekerasan seksual, sehingga perempuan dan anak yang selama inirentan sebagai korban kekerasanseksualbisaterselamatkan dari para predator seksual termasuk predator berjubahrohaniawan.

Ketujuh Lembaga/korporas iperlu membuat pakta komitmen untuk Zero tolerane terhadap kekerasanseksual, mengingat kekerasan seksual terus meningkat dan pelakunya merupakan orang dekat, tokoh panutan maupun kelompok dalam korporasi/lembaga tersebut.

Kedelapan, mengharapkan peran serta seluruh masyarakat untuk terus bersuara dan melaporkan semua kasus kekerasan seksual yang dialami maupun dilihat, serta tidak boleh mendiamkan atau membiarkank ekerasan itu terjadi.(*/non)