Pemkab Belu Terus Berupaya Turunkan Prevalensi Stunting Dari 21,2 Persen ke 14 Persen
Atambua, NTTOnlinenow.com – Stunting dalam ilmu kesehatan dikenal sebagai kondisi gagal tumbuh pada usia anak di bawah 2 tahun atau 1.000 hari pertama kehidupan.
Masalah tersebut disebabkan oleh persoalan gizi kronis sebagai akibat dari asupan gizi yang kurang saat seorang ibu mengandung. Selain itu juga tidak semua warga masyarakat memahami hal itu dan jarang diperhatikan oleh masyarakat terlebih suami dan keluarga terdekat ibu hamil.
Sehingga hal ini, terjadi dalam jangka waktu yang lama dan anak yang dilahirkan dengan asupan gizi kurang sudah dipastikan lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki kerterlambatan dalam berpikir.
Pemkab Belu melalui Dinas Kesehatan dibawah kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Willybrodus Lay-J.T Ose Luan menyelenggarakan workshop guna menemukan solusi cara menurunkan angka stunting. Sebab prevalensi angka stunting Belu masih tinggi yakni 21,2 persen di tahun 2020.
Workshop yang berlangsung, Jumat (13/11/2020) di aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Belu melibatkan dinas Kesehatan Belu, Dinas Pendidikan, BP PAUD, dinas PMD, pengelola Paud, Tutor dan kader posyandu serta Dikmas Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kepala Dinas Kesehatan Belu, dr Joice Manek mengatakan, wilayah kabupaten Belu, prevalensi angka stunting berada pada 21,2 persen dan ini merupakan “PR” besar yang harus dikeroyok secara bersamaan dengan dinas teknis lain.
Seperti PUPR, PMD, Dinas Pertanian, BKKBN dan lainnya. Karena persoalan stunting itu kompleks. Selain itu, keinginan presiden Jokowi adalah angka stunting di seluruh Indonesia pada 2024 harus berada pada angka 14 persen.
Jadi lanjut Manek, konfergensi tak dapat terelakan lagi. Untuk menurunkan angka prevalensi hingga 14 persen maka kita perlu workshop untuk bersepakat lagi. Sebab ini dalam kondisi covid-19 dan tidak mudah. Karena lewat konfergensi kita sudah berhasil turun di angka 21,2 persen. Namun kini kondisi bangsa mengalami pandemi besar dan menyedot banyak anggaran juga.
“Sehingga workshop melibatkan lintas sektor terutama pengelola PAUD, dan dinas lain menjadi wadah. Agar kampanye terus berjalan karena stunting tidak akan pernah bisa diobati. Bahkan anak dengan kondisi stunting, akan rentan terhadap berbagai penyakit dan sulit berprestasi,” kata Manek.
“Sehingga semua dinas terkait walau terbatas anggaran. Tetapi kerja keroyokan harus jalan terus supaya sebagai dinas teknis tidak memberi kontribusi negatif terhadap stunting. Mari berkontribusi positif, sehingga generasi yang dihasilkan di Belu tidak mendapat predikat sumber daya manusia berkualitas rendah, tetapi harus produktif,” tambah Mantan Direktur RSUD Atambua itu.
Lebih lanjut, Manek menjelaskan balita usia 2 tahun yang terkena stunting di Belu pada tahun 2018 itu sebesar 25 persen, 2019 meningkat menjadi 30,1 dan kondisi 2020 pada Vebruari-Agustus prevalensi angka stunting Belu berada pada 21,2 atau mengalami penurunan.
Disampaikan, sebaran stunting di wilayah Atambua antara lain: Kecamatan Atambua selatan tahun 2019 terdapat 253 orang balita (15,9 persen) tahun 2020 terdapat 373 orang balita 19,9 persen. Kota Atambua tahun 2019 terdapat 198 balita (13,3 persen) tahun 2020 tetap 198 balita dan prosentasinya 12,8 persen. Sementara kecamatan Kakulukmesak tahun 2019 terdapat 244 balita (18,8 persen dan tahun 2020 terdapat 236 anak stunting (18,3)
Kecamatan Lamaknen tahun 2019 terdapat 210 (20,3) tahun 2020 terdapat 410 balita stunting(39,6), Kecamatan Lamaknen Selatan tahun 2019 terdapat 430 (56,0) tahun 2020 masih terdapat 366 (40,8). Kecamatan Lasiolat tahun 2019 terdapat 21 anak(3,6) tahun 2020 terdapat 41(5,8) Kecamatan Nanaet Dubesi tahun 2019 anak stunting sebanyak 164 (39,0) tahun 2020 sebanyak 109 (24,8)
Kecamatan Raihat tahun 2019 sebanyak 147 (16,3) tahun 2020 126 (12,2). Kecamatan Raimanuk tahun 2019 sebanyak 461 (27,5) tahun 2020 mengalami kenaikan dan menjadi 564(30,8). Kecamatan Tasifeto Barat tahun 2019 sebanyak 282 (13,2) tahun 2020 198 (9,5) kecamatan Tasifeto Timur tahun 2019 terdapat 755 (35,6) tahun 2020 sebanyak 606 (29,1) dan Atambua Barat tahun 2019 sebanyak 79 balita (6,3) tahun 2020 terdapat 201(15,0).
“Jadi secara keseluruhan jumlah anak stunting di Belu pada tahun 2019 sebanyak 3244 dengan prosentasi 21,3 dan tahun 2020 hingga Vebruari terdapat 3428 atau prosentase 21,2 persen. Penurunan ini tentu saja berkat kerja sama semua pihak, dan faktor lainnya adalah anak-anak tersebut sudah keluar dari usia balita juga,” ujar Manek dalam materinya.
Tambah dia, guna mengatasi stunting di Belu, maka intervensi Dinkes adalah prioritas ibu usai bersalin harus memberi asi ekslusif selama 6 bulan, inisiasi menyusui dini (IMD). Intervensi lainnya adalah memberikan vitamin a dan tablet tambah darah bagi remaja usia subur, memberi makanan tambahan atau asupan gizi bagi kelompok sasaran di lokus stunting supaya mencegah.
Tetapi harus diakui berbagai intervensi yang dilakukan dinkes belum maksimal mengatasi stunting dan bahkan salah sasaran. Pada sisi lain, masyarakat di perkampungan merasa tidak ada sumber gizi. “Padahal masyarakat mempunyai ternak ayam, telur ayam, bayam kacang panjang, kacang tanah dan sayuran lain. Namun anak-anak tidak dikasih makan, melainkan sumber gizi itu dijual semuanya,” ungkap Manek.
Sehingga ke depan diharapkan, para ibu-ibu terutama kader posyandu jangan lagi menjual semua sumber gizi yang dimiliki keluarga, tetapi berilah bagi anak-anak di rumah makan supaya mereka terhindar dari stunting.
“Intervensi lain yang akan dilakukan di 2021 untuk mengejar prevalensi angka stunting kabupaten Belu ke 14 persen sesuai keinginan presiden, maka Dinkes Belu akan perkuat bimbingan teknis dan pendampingan sampai akar rumput dengan memanfaatkan kader-kader posyandu, pioner desa dan kecamatan disertai form pencatatan yang seragam dan akurat dengan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama sebagai kunci. Sehingga angka prevalensi 14 persen bisa dicapai,” tutup Kadinkes Belu itu.
Bersamaan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Belu, Jonisius Mali mengatakan, menindaklanjuti instruksi presiden yang diturunkan ke kementerian pendidikan dan dinas pendidikan baik provinsi, kabupaten/kota, perintahnya sama yakni melawan stunting.
Oleh karena itu, Dinas Pendidikan Belu melakukan pendekatan penanganan stunting melalui pendidikan PAUD yang holistik integratif. Dari 4 pilar utama PAUD salah satunya adalah asupan gizi.
“Jadi Pemkab Belu akan menginstruksikan agar seluruh PAUD harus memiliki sensitif Tenaga pendidik PAUD harus sensitif gizi. Selain itu harus mampu mendorong stimulasi, baik terkait pola makan, pola asuh maupun santitasi. Sehingga dikbud Belu bisa berkontrubusi menurunkan prevalensi angka stunting ke 14 persen,” jelas Mali.
Karena lanjut dia, investasi SDM bagi Belu harus dimulai pada saat anak-anak dalam masa usia periode emas yakni usia balita menuju usia PAUD. Jadi Dikbud akan perkuat 215 PAUD di Belu supaya pengelolaannya holistik integratif. Karena dari 215 PAUD yang ada baru 15 unit yang sudah holistik integratif. (YB/Advetorial-Dinas Kominfo Belu)