Penetapan Tersangka Kasus NTT Fair Cacat Hukum

Bagikan Artikel ini

Kupang, NTTOnlinenow.com – Penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi NTT Fair oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT dinilai tidak prosedural, dan cacat hukum karena hasil pemeriksaan kerugian negara dilakukan oleh lembaga yang tidak sah.

Pernyataan ini disampaikan kuasa hukum tersangka kasus NTT Fair, Samuel Haning kepada wartawan di Kupang, Kamis (29/8/2019).

Samuel menjelaskan, sesuai ketentuan UU, hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang berhak mengaudit proyek dan menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara. Namun dalam kasus, Kejati NTT memakai lembaga yang tidak berwewenang yakni Politeknik Negeri Kupang (PNK) yang menyatakan kerugian negara mencapai Rp6 miliar.

“Karena penetapan tersangka yang dinilai tidak prosedural itu, para tersangka kasus NTT Fair mengajukan pra peradilan kepada Kajati NTT,” kata Samuel.

Lebih lanjut ia menguraikan, Surat Edaran Jaksa Agung No 4 tahun 2016 menyatakan, lembaga yang berhak menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara adalah BPK. Foto, dalam menetapkan kerugian negara dalam kasus NTT Fair, Kejati NTT menggunakan lembaga yang tidak berwewenang yakni PNK yang menyatakan kerugian negara mencapai Rp6 miliar.

“Politeknik bukan lembaga audit, sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk menetapkan kerugian negara,” tandas Samuel.

Baca Juga : BPK RI : Proyek NTT Fair Rp29,9 M Tidak Ditemukan Kerugian Negara

Dengan demikian, ia menilai penetapan tersangka kasus NTT Fair adalah cacat hukum dan karena itu penetapan tersangka harus batal demi hukum. Jika ke depan ada novum baru, maka silahkan saja jaksa kembali menetapkan tersangka.

Samuel berargumen, selama ini belum ada hasil audit BPK yang menyatakan adanya kerugian negara dalam kasus NTT Fair. Jika pun ada, biasanya pemerintah daerah NTT diminta untuk menuntaskan temuan itu dalam kurun waktu 60 hari. Inilah prosedural yang keliru dilakukan Kejati NTT.

Pada kesempatan itu ia juga mempertanyakan penetapan tersangka oleh Kejati NTT tanpa dilakukan gelar perkara yang melibatkan semua unsur. Ini merupakan mekanisme yang harus ditempuh dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi.

“Kita pertanyakan kapan Kejati NTT lakukan gelar perkara atas kasus ini. Karena tanpa mekanisme itu, tiba- tiba sudah ada tersangka,” tanya Samuel retoris.

Ia mengkuatirkan adanya kriminalisasi dalam kasus ini. Karena penetapan tersangka tanpa adanya kerugian negara. Ini sangat bahaya, karena orang ditangkap dan dijadikan tersangka tanpa dasar kerugian negara. Sebagai lembaga penegak hukum, Kejati NTT hanya sebatas berkonsultasi dengan lembaga yang diberi kewenangan oleh UU untuk melakukan audit dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian negara. Bukan Kejati mengambil inisiatif sendiri memakai lembaga lain untuk melakukan audit.

“Kita masih lakukan investigasi soal ada atau tidaknya peran pihak ketiga yang mengintervensi kasus ini,” ujar
Samuel.