Negara Harus Bertindak Terhadap Kelompok Intoleran
Kupang, NTTOnlinenow.com – Negara dalam hal ini Polri harus menunjukkan eksistensinya sebagai institusi yang memiliki kekuatan digdaya, menegakan wibawa hukum dan wibawa negara, bukan membuat negara sebagai organisasi ayam sayur ketika menghadapi sekelompok kecil masyarakat yang bersikap intoleran terhadap yang lain.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus sampaikan ini dalam keterangan persnya yang diterima media ini, Kamis (29/8/2019).
Menurut Petrus, Polri tidak boleh bersikap diskriminatif dalam penegakan hukum terutama melakukan penindakan terhadap siapapun warga negara yang diduga melakukan kejahatan yang menimbulkan korban bagi warga negara lainnya dan bagi kepentingan umum. Dalam menyikapi laporan masyarakat terhadap Ustadz Abdul Somad (UAS) sehubungan dengan beredarnya video rekaman tausiyah UAS dalam suatu forum tausiyah yang kontennya tentang Salib Yesus dan Setan, Polri nampak kurang merespons laporan masyarakat secara cepat.
Ia mengatakan, sebagai alat negara, segala tindakan kepolisian oleh Polri terhadap warga negaranya, merupakan bentuk pengakuan, penghormatan dan perlindungan dari negara terhadap hukum dan hak-hak warga negara lainnya dalam sebuah negara hukum. Karena esensi dalam bernegara sesungguhnya adalah menghormati dan melindungi hak setiap warga negara tanpa kecuali. Apalagi hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan, sesungguhnya adalah esensi dari negara hukum.
“Dalam kasus laporan Polisi masyarakat terhadap UAS, Polri memiliki legal standing yang jauh lebih kuat karena Polri bertindak sebagai alat negara, untuk dan atas nama negara demi melindungi segenap warga negaranya dimanapun berada,” kata Petrus.
Advokat Peradi ini mengkritisi penjelasan Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Asep Adi Saputra yang mengatakan bahwa pihaknya tidak serta merta menerapkan pendekatan hukum dalam kasus UAS. Semestinya Polri dalam menangani kasus UAS tidak cuma berpedoman pada landasan yuridis, tetapi bagaimana pertimbangan sosiologisnya.
Lebih lanjut Petrus menjelaskan, kalau berpedoman pada landasan sosiologis, pertimbangan sosiologis dan psikologis masyarakat mengharuskan Polri menindak siapapun yang melanggar hukum. Karena terhadap pelaku, negara sudah memayungi setiap warga negaranya dengan asas praduga tak bersalah.
“Jika dalam proses hukum terhadap UAS berupa tindakan kepolisian lantas membahayakan kepentingan bangsa dan negara, hukum positif kita sudah memberikan payung hukum kepada Jaksa Agung untuk memberikan deponering terhadap seorang tersangka/terdakwa,” papar Petrus.
Ia berargumen, pernyataan Kabag Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Pol. Asep Adi Saputra, memberi sinyal kuat bahwa Polri akan mempetieskan laporan masyarakat terkait video rekaman tausiyah UAS yang saat ini menjadi obyek laporan di sejumlah Polda dan juga di Bareskrim. Sikap Polri terhadap laporan masyarakat atas diri UAS mengingatkan akan sikap Polri dalam menyikapi laporan masyarakat atas diri Riziq Shihab. Laporan itu baik untuk kasus dugaan penistaan agama maupun kasus-kasus lainnya yang tidak pernah diketahui lagi perkembangan prosesnya. Selain itu beberapa kasus yang sudah sampai tahap penyidikan, justeru di SP3-kan oleh Polri.
“Sikap Polri dalam kasus-kasus intoleran, justru membingungkan masyarakat. Dua kasus Rizieq Shihab, Polri telah terbitkan SP3. Sementara kasus UAS, Polri justru menempatkan pertimbangan sosiologis sebagai pertimbangan utama untuk mengesampingkan proses hukum,” tandas Petrus.