Penerapan Kebijakan Perlindungan Anak di NTT Belum Maksimal
Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT) telah memiliki kebijakan terkait perlindungan perempuan dan anak, tetapi dalam implementasinya sejauh ini belum dapat berjalan secara maksimal.
Direktris Lembaga Bantuan Hukum, Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) NTT, Ansy Damaris Rihidara sampaikan ini pada seminar Kajian Terhadap Dampak Peraturan Daerah (Perda) Provinsi NTT di Kupang, Kamis (25/1/2018).
Menurut Ansy, negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak dari warga negara, termasuk perempuan dan anak. Wujud penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak warga tertuang dari berbagai kebijakan pemerintah.
“Kebijakan pemerintah ini wajib diturunkan pada kebijakan strategis yang lebih teknis maupun juga pada kebijakan pada level yang lebih rendah yakni pada kebijakan daerah,” ungkapnya.
Ansy mengatakan, implementasi kebijakan perlindungan perempuan dan anak pada tingkat lokal (daerah) diwujudkan dalam berbagai regulasi daerah dan dijalankan oleh organisasi perangkat daerah (OPD) teknis.
Baca juga : Perda Harus Berikan Jaminan Perlindungan Perempuan dan Anak
“Tujuannya adalah persoalan yang dihadapi perempuan dan anak dapat diminimalisir hingga pada zero kekerasan terhadap perempuan dan anak,” katanya.
Meski begitu, kata Ansy, penerapan kebijakan perlindungan perempuan dan anak belum dapat berjalan maksimal. Hal ini dapat dilihat pada masih banyaknya kasus- kasus yang dialami oleh perempuan dan anak.
“Kasus kekerasan anak seperti perkosaan dan percabulan, menjadi kasus yang dominan ditangani oleh LBH APIK NTT, disamping kasus KDRT dan perdagangan orang,” ujarnya.
Kegiatan yang dipandu aktivis perempuan NTT, Anna Djukana ini menghadirkan 2 orang panelis, mewakili pemerintah yakni Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Provinsi NTT, Bernadetha Usboko dan dari akademisi, Ernesta Uba Wahon, yang adalah Dosen tetap Fakultas Hukum Unwira Kupang.
Pada kesempatan itu, Ernesta Uba Wahon mengatakan, berbicara tentang sistematika perlindungan anak sampai pada peraturan daerah, maka terkhusus terkait pekerja anak saat ini, terjadi suatu inkonsistensi. Karena dalam undang-undang (UU) Perlindungan Anak tidak mengatur secara detail.
“Tetapi disampingnya itu ada aturan lain yang cukup mengganggu, yaitu di UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada istilah pekerja anak dipakai di situ. Karena itu, diperlukan harmonisasi dan komitmen bersama untuk membuat sebuah konsistensi,” paparnya.