Ini Temuan Penelitian Penggunaan Bahasa Dalam Mengajar di Kelas Awal
Waingapu, NTTOnlinenow.com – Memakai Bahasa Indonesia dalam mengajar pada anak-anak kelas awal Sekolah Dasar yang masih mengunakan bahasa-bahasa daerah menjadi tantangan tersendiri bagi para pengajar. Apalagi kalau dalam kelas tersebut banyak anak dengan latar belakang beragam bahasa daerah, hal tersebut akan menambah tingkat kerumitan pembelajaran.
Di pihak lain, guru dituntut tidak hanya mampu menyampaikan konten pembelajaran, tapi secara perlahan juga melakukan transisi penggunaan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia secara utuh sebagai pengantar dalam pembelajaran tersebut.
Tim INOVASI yang terdiri dari 10 Fasilitator Daerah Sumba Timur menemukan banyak temuan menarik selama melakukan proses penelitian prepilot transisi penggunaan Bahasa Daerah ke Bahasa Indonesia dalam pembelajaran kelas awal atau kelas satu, dua dan tiga di tiga SD di Sumba Timur.
Salah satunya terdapat sekolah yang dari kelas satu sampai kelas tiga, selama proses pembelajaran yang diamati peneliti, porsi penggunaan bahasa daerahnya hampir sama yaitu sekitar 90 persen. “Idealnya, semakin tinggi jenjang kelas, penggunaan bahasa Indonesia sebagai pengantar pembelajaran semakin meningkat,” ujar Afifuddin, Education Officer program INOVASI dari Jakarta saat memimpin kegiatan penelitian tersebut di beberapa sekolah di Haharu Sumba Timur (25 Januari 2018)
Menurut Afif, agar transisi penggunaan bahasa mulus, guru harus mengerti kapan sebaiknya menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah secara tepat. “Kalau bahasa daerah terlalu banyak digunakan dan tidak dilakukan transisi perlahan, ketika menginjak kelas tinggi, anak-anak akan kesulitan mengetahui bahasa teks yang semakin kompleks yang terdapat di buku- buku teks sekolah, sehingga pencerapan terhadap pembelajaran juga akan sangat kurang,”ujarnya.
Baca juga : Kadis DPMD: Program Inovasi Desa Resmi Diluncurkan di Sumba Timur
Menurut Afif, penggunaan bahasa daerah oleh guru kadang tidak berdasarkan penilaian yang benar terhadap kemampuan siswa itu sendiri menggunakan Bahasa Indonesia. Guru hanya berasumsi bahwa anak tidak akan mengerti konten kalau pembelajarannya disampaikan dalam Bahasa Indonesia, sehingga ia terus menerus menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar pembelajarannya. “Padahal belum tentu demikian. Banyak anak sebenarnya karena terpapar bahasa Indonesia dari berbagai sumber lain. Mereka bisa mengerti bahasa Indonesia, walaupun mungkin kurang baik,” ujarnya.
Menurut Andika, District Facilitator INOVASI Sumba Timur, sekolah yang penerapan transisi kebahasaannya belum maksimal, kemungkinan masih memiliki kesulitan menentukan metode melakukan transisi tersebut. “Observasi dan wawancara yang kita lakukan adalah untuk mencari akar penyebab masalah ini. Nantinya kita akan bersama-sama membuat solusi yang akan kita terapkan di sekolah,” ujarnya.
Andika juga menegaskan bahwa penelitian ini bukan untuk menilai tingkat performance sekolah, tapi untuk program meningkatkan ketrampilan literasi dan numerasi siswa. “Tingkat literasi individu sangat ditentukan saat individu tersebut berada di kelas awal. Semakin cepat mereka literate terhadap bahan bacaan dan mata pelajaran, semakin besar kesempatan mereka untuk mencerap pengetahuan dan ketrampilan semenjak dini, “ ujarnya menambahkan.
Penelitian dengan menggunakan metode khas PDIA (Problem Driven Iterative Action) tersebut dilakukan oleh tim INOVASI di tiga sekolah dasar di Sumba Timur. Penelitian tersebut juga mencakup penelitian terhadap cara mengajar guru, manajemen sekolah, dan berbagai hal lain yang mendukung peningkatan literasi dan numerasi anak didik.
Program INOVASI merupakan program pendidikan yang didanai oleh DFAT (Department of Foreign Affair and Trade) Pemerintah Australia bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan Pemerintah Daerah sedaratan Sumba. Di Sumba NTT, program ini dimulai pada bulan Juni 2017.