Walhi: Pariwisata NTT Bukan Sekadar Halal dan Haram
Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) menyebut pariwisata di daerah itu bukan sekadar halal dan haram.
“Pariwisata haram itu bila mengabaikan kesejahteraan rakyat dan mengkapling ruang publik serta merampas wilayah kelola rakyat,” kata Rima Melani Bilaut, Divisi Sumber Daya Alam WALHI NTT, dalam keterangan tertulis, Senin (27/5/2019).
Menurut Rima, semenjak Pulau Komodo dijadikan sebagai Taman Nasional dan Pulau Sumba dinobatkan sebagai salah satu pulau terindah di dunia, pariwisata NTT mulai menjadi incaran mata para wisatawan asing dan domestik.
Dilansir dari media antara news (22/09/2017), seorang pengamat ekonomi Dr James Adam menyatakan bahwa jika dilihat dari indikator kunjungan wisatawan asing maupun domestik ke NTT pada 2015 yang mencapai 449.000 orang telah meningkat lebih dari 100.000 orang pada tahun 2016, maka sektor pariwisata telah muncul sebagai kekuatan ekonomi baru bagi provinsi NTT.
Tidak mau melewatkan potensi emas ini, nahkoda baru Provinsi NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef Nae Soi yang dinobatkan pada september 2018, memasukan pariwisata sebagai satu dari lima visi utama selama masa kepemimpinannya 5 tahun ke depan.
Hampir setahun kepemimpinan rezim ini, berbagai gebrakan pariwisata telah dilakukan untuk mendukung pariwisata NTT mulai dari pemberlakuan english day, penutupan Pulau Komodo selama setahun, hingga meluncurkan minuman keras khas NTT yang dikenal dengan sebutan SOPIA (Sopi Asli).
Kementrian Pariwisata RI juga tidak mau ketinggalan dalam mendukung pengembangan pariwisata di NTT. Menurut penuturan Deputi Pemasaran II Kementrian Pariwisata, Nia Niscaya, pihak Kemenpar RI menitikberatkan kepada pemasaran dan penjualan objek-objek pariwisata. Contohnya melalui iklan-iklan dengan gambar komodo di internet maupun bus-bus pariwisata di luar negeri.
“Di mana ada gula pasti akan banyak semut yang datang berkumpul”, peribahasa ini mungkin cocok untuk menggambarkan reaksi atas aksi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan kementrian pariwisata dalam mempromosikan pariwisata NTT.
“Selain kunjungan wisatawan, tentu para investor juga akan berduyun-duyun datang ke NTT untuk berinvestasi,” ungkap Rima.
Keberadaan investasi memang baik untuk mendukung perkembangan pariwisata NTT. Akan tetapi, menurut Rima, jika investasi tersebut merebut ruang untuk mengembangkan perekonomian rakyat di sekitar daerah pariwisata, apalagi sampai menimbulkan konflik dan rakyat kehilangan nyawanya seperti kasus Poro Duka yang terjadi di Sumba Barat, maka investasi tersebut harus ditolak.
“Dalam cataan Walhi NTT, lebih dari 70 persen kawasan pesisir yang merupakan kawasan strategis pariwisata di NTT telah dikuasai oleh investor besar maupun menengah. Kalau ini terus berlanjut maka, mimpi Pemprov NTT untuk pariwisata kerakyatan hanyalah utopia semata,” ujarnya.
Walhi Eksekutif Daerah NTT menegaskan, pemerintah provinsi harus mengembangkan model pariwisata yang berbasis kerakyatan di setiap daerah di NTT yang kaya akan potensi pariwisatanya.
Pariwisata berbasis kerakyatan artinya melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program-program pariwisata. Contoh paling sederhana adalah pertama, memastikan tata kuasa kawasan berbasis masyarakat dan minimal negara. Agar masyarkat dapat mebangun fasilitas fasilitas pariwisata yang kemudian berdampak pada peningkatan ekonomi warga.
Kedua, memberdayakan kios-kios masyarakat lokal yang menjual hasil produksi masyarakat itu sendiri baik berupa souvenir, tenunan atau masakan khas di daerah pariwisata.
“Terlepas dari konsep pariwisata tersebut halal atau tidak, intinya masyarakat harus mampu menggaji dirinya sendiri bukan hanya didorong agar digaji oleh pihak investor saja. Dengan kata lain masyarakat harus dibiarkan berdaulat dan berproduksi di atas tanah miliknya sendiri,” katanya.
Melalui model pariwisata ini, lanjut dia, masyarakat akan menjadi penerima manfaat utama dari kegiatan pariwisata sehingga terciptanya kemandirian ekonomi dari masyarakat. Ketika sudah mampu mandiri, masyarakat tentu tidak perlu mencari pekerjaan ke luar negeri dan pulang dalam keadaan tidak berdaya.
“Pariwisata sebagai kekuatan ekonomi baru bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui pajak yang datang dari investasi tetapi sebagai kekuatan ekonomi baru bagi rakyat itu sendiri. Dengan demikian provinsi NTT bukan menjadi provinsi yang kaya potensi wisata tetapi rakyatnya kere,” tandas Rima.