Pemda Mabar Disinyalir Diskrimasi, Belasan Bangunan Lainnya Tidak Dieksekusi
Laporan Alvaro Saputra Marthin
Labuan Bajo, NTTOnlinenow.com – Tindakan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) yang mengeksekusi bangunan milik Maksi Nggaus, warga desa Gorontalo, Kecamatan Komodo Labuan Bajo, belum lama ini yang kini sedang dimeja hijokan, memunculkan berbagai dugaan dan pertanyaan. Bagimana tidak.
Pasalnya, sebelumnya total 27 bangunan di Labuan Bajo masuk dalam daftar bangunan yang akan dirobohkan/dieksekusi paksa oleh Pemda. Namun dalam perjalanan tiba-tiba menyusut menjadi 14 (empat belas) bangunan saja. Akan tetapi dari 14 bangunan itu hanya bangunan milik Maksi Nggaus yang dieksekusi, sementara yang lainnya hingga kini masih berdiri kokoh. Dalam daftar itu, Maksi Nggaus (Penggugat) masuk daftar urutan pertama.
Berdasarkan hal itu, maka Pihak Penggugat mensiyalir telah terjadi diskriminasi yang begitu tajam. Selain itu penggugat juga mempertanyakan sikap pihak Tergugat terkait belasan bangunan lainnya itu yang tidak dieksusi.
Mengapa belasan bangunan lainnya yang masuk dalam daftar eksekusi tidak dilakukan eksekusi. Mengapa tebang pilih, tanya kuasa hukum Maksi Nggaus.
Dikatakan, selama melakukan proses mediasi, pihak Pemda melalui kuasa hukumnya, Kabag Hukum dan Asisten III mengkalim bahwa pembongkaran itu berdasarkan permintaan sendiri oleh pemilik bangunan. Padahal tidak demikian, kata Tukan.
Pemda Mabar Membantah
Sementara itu, ditempat terpisah, Kabag Hukum Pemda Mabar (Tergugat), Hilarius Madin membantah semua tudingan itu.
Menurutnya, dasar pembongkaran bangunan milik Penggugat adalah karena bangunan itu dibangun tanpa mengajukan permohonan IMB. Terbukti ketika 12 Mei 2014 pihak Pemda melakukan teguran secara lisan, kemudian disusul teguran tertulis dari dinas PU, penggugat baru mengajukan permohonan IMB, pada 23 juni tahun 2014.
“Satu persoalan mendasar yang dilakukan Maksi Nggaus (Penggugat) adalah menyentuh sempadan terluar, yaitu talud jalan atau tanggul penahan dan dibongkar oleh Maksi Nggaus, kemudian membangun diatas Talud yang ada,” jelas Hilarius.
Sejak teguran pertama dan peringatan pada bulan Desember bangunan bawahnya selesai dibangun. Pada tahun 2018, ketika dipolice line oleh Pemda pada 28 September, dia (Penggugat) membongkar lalu melanjutkan pembangunannya.
Padahal sebelum dipolice linekan oleh Satpol PP telah dilakukan peringatan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP), sesuai Permendagri 54 tahun 2011, sehingga akhirnya tanggal 23 diberikan surat pemberitahuan akan dilakukan pembongkaran.
Sedangkan terkait puluhan bangunan lainnya yang belum dieksekusi, menurutnya, itu tetap dilakukan tetapi tidak dilakukan secara serampangan. Akan dilakukan secara bertahap setelah proses hukum ini selesai. Seperti apa putusannya nanti kita akan lakukan selanjutnya.
“Kitakan berikan kesempatan untuk melakukan pembongkaran sendiri selama 30 hari. Jika mereka melakukan sendiri, tentu tidak dilakukan pembongkaran paksa,” jelasnya.
Ketika ditanya terkait, kewenangan eksekusi bangunan, Hilarus mengatakan, hal ini dilakukan atas pedoman dan ketentuan yang berlaku. Dalam prosedur tersebut, lanjut dia, yang memiliki kewenangan melaksanakan eksekusi atau pembongkaran bangunan adalah Polisi Pamong Praja (Pol PP) dan pihak badan hukum hanya menjalankan manakala diminta untuk kajian teknis hukumnya.
Sedangkan bagian hukum tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pembongkaran dalam bentuk apapun, seperti bangunan milik Maksi Naggaus ini, pungkasnya.
Penggugat Dituding Tak Punya Itikad Baik
Menurutnya Hila, eksekusi bangunan milik Maksi Nggaus, berbeda dengan yang lainnya, terutama dari sisi itikad. Maksi Nggaus dituding tidak memiliki itikad baik. Dimana, ketika pihak Pemda mengarahkannya untuk melakukan pembongkaran, justru Dia (Maksi Nggaus) malah muncul bangunan lantai duanya.
Hila justru membandingkan bangunan yang terletak di Langaka Kabe dan kampung Ujung Labuan Bajo, serta sejumlah bangunan lainnya yang enggan disebutkannya. Pasalnya sejak Pemda mengeluarkan larangan untuk tidak melanjutkan aktivitas bangunannya, sejak saat itu pula mereka berhenti mengerjakannnya.
Lagi-lagi, terkait bagunan yang belum dieksi pihaknya, Ia mengataka, akan dilakukan setelah putusan perkara ini dinyatakan inkracht. Jika nantinya langka eksekusi yang dilakukan pihak terhadap bangunan Maksi Nggaus hal itu akan menjadi bahan pemeblajaran untuk kemudian diperbaiki nantinya.
“Kan begini, police line itu setelah putusan inkracht. Barangkali ada kesalahan prosedur, kalau memang ada kesalahan prosedur yang kita lakukan kali ini, maka itu yang perlu dibenahi dalam kaitannya dengan penertiban yang akan datang,” tandas Hila.