UU ITE dari Pengamatan Sang Pengawal Revisi

Bagikan Artikel ini

Jakarta, NTTOnlinenow.com – Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) resmi diberlakukan pada hari ini. ICT Watch yang ikut mengawalnya pada saat revisi pun ikut angkat bicara.

Seperti diketahui, sejumlah perubahan terjadi di dalamnya, antara lain pada pasal 27 tentang pencemaran nama baik di mana hukumannya lebih ringan dari ketentuan sebelumnya.

UU ITE yang mulai diberlakukan pada 2008 memang menimbulkan kecaman dan sering makan korban, salah satu yang terkenal adalah Prita Mulyasari, yang mengkritik salah satu rumah sakit swasta melalui email pribadi yang lalu tersebar di internet. Maka revisi pun dilakukan.

Perubahan pada pasal 27 ayat 3, sanksinya diturunkan dari 6 tahun jadi 3 tahun. Maka, pihak yang diduga melakukan pelanggaran tak bisa ditahan, hanya diperiksa. Kemudian deliknya jadi aduan bukan delik umum, sehingga kasus pencemaran baik harus dilaporkan sendiri oleh korban.

“Sekarang ditegaskan kalau itu delik aduan. Kalau dulu belum tertulis secara tegas kan. Ini supaya orang pada saat dilaporkan tidak lagi ditahan secara semena-mena seperti kasus Prita. Jadi nggak ditahan,” kata Donny BU, Direktur Eksekutif ICT Watch kepada detikINET, Senin (28/11/2016).

Revisi pasal 27 memang sudah lama diupayakan untuk direvisi, bahkan ada saran dihapus saja dimana UU ITE lebih baik murni untuk mengatur transaksi elektronik. Sedangkan untuk kasus pencemaran nama baik dimasukkan ke KUHP.

“Pertanyaannya, apakah dengan pasal 27 atau tidak ada pasal tersebut orang jadi berhenti mengkriminalisasi orang lain? Kriminalisasi terhadap orang berekspresi tetap bisa pakai jalur lain, istilahnya jalur ngasal, misalnya orangnya langsung disamperin,” sebut Donny.

Intinya selama ada hasrat seseorang untuk mengkriminalkan, maka tetap saja dia akan melakukannya dengan beragam cara. Namun demikian meski dirasa belum ideal, revisi UU ITE yang baru sudah berlaku dan memang perlu ada aturan untuk mengatur kebebasan berpendapat.

“Memang tetap perlu ada pembatasan kebebasan berpendapat, perlu ada konsekuensi dari orang yang ngomong ngawur atau sengaja nipu,” sebut Donny.

Apalagi belakangan, banyak berita hoax bermunculan di internet dan dampaknya bisa berbahaya. Akan tetapi Donny berharap selain dimunculkan aturan-aturan, literasi digital dan etika masyarakat di dunia maya perlu terus ditingkatkan. Misalnya supaya tidak menyebarkan berita bohong.

“Intinya adalah kebebasan perlu dilindungi, jadi pasal 27 yang ada sekarang jangan sampai di-misuse, misalnya whistle blower malah ditangkap. Tapi tetap orang-orang berekspresi ada batasnya dan ada etikanya,” pungkas Donny.
Sumber : Detik.com