WALHI Minta Pemerintah Hentikan Privatisasi Pesisir di NTT

Bagikan Artikel ini

Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Peringati Hari Maritim Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan sejumlah aksi sebagai kampanye dalam rangka menolak privatisasi pesisir di NTT. WALHI juga meminta pemerintah agar memperluas wilayah kelola rakyat yang kian berkurang.

Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu menyampaikan, bentuk aksi yang dilakukan, yakni teatrikal, pesan maritim, ngopi senja dan baca buku yang digelar di pesisir pantai Pasir Panjang, Kota Kupang, Senin (21/8/2017).

“Pada hari ini, kita merayakan Hari Maritim nasional. Peringatan Hari Maritim di era Jokowi-JK tentu seharusnya lebih kuat mengingat Jokowi-JK mengusung tema poros maritim dalam jargon pembangunannya. Kita tentu harus melihat sejauh mana progres pembangunan maritim di era ini. Termasuk didalamnya, provinsi kita, NTT,” katanya.

Menurut Umbu Wulang, Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada periode kepemimpinannya mencanangkan Gerakan Masuk Laut (Gemala). Gerakan ini masuk akal karena NTT memang adalah provinsi kepulauan dimana laut menjadi salah satu potensi terkuatnya. Gerakan ini seolah memberi angin surga bagi rakyat untuk bisa mengelola potensi kelautan untuk kesejahteraan.

Baca juga : Delapan Putra Perbatasan Belu Lolos Seleksi Tahap satu Tingkat Daerah Secaba PK TNI AD 2017

“Sayangnya, seiring perjalanan waktu, gerakan ini tinggal jargon kosong,” ujarnya.

Gemala yang dicanangkan Gubernur NTT Frans Lebu Raya tersebut, kata Umbu Wulang, pantas disebut sebagai jargon kosong berdasarkan beberapa indikasinya, yakni dalam perspektif ekonomi (PAD NTT) tidak terlihat kontribusi yang memadai dari sektor Maritim. Hal ini dikarenakan salah satunya, program program pembangunan NTT bias darat.

Kondisi kelautan dan pesisir di NTT makin memprihatinkan dengan adanya kebijakan “memunggungi” laut. Yakni membiarkan kebijakan privatisisi kawasan pesisir yang merajalela. Contohnya, membuka ruang privatisasi di pesisir Kota Kupang (Pasir Panjang, Teluk Kupang).

“Pencemaran laut dibiarkan. Penyelesaian kasus pencemaran laut Timor praktis tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah provinsi. Uapaya penyelesaian justru banyak diinisiasi masyarakat sipil di NTT. saat ini juga pencemaran di laut Kupang tidak dikontrol oleh pemerintah daerah. Sampah banyak di laut karena aktivitas pembangunan yang tidak diurus serius dampak lingkungannya,” ungkapnya.

Selain itu, Umbu Wulang menambahkan, berkurangnya wilayah kelola rakyat di pesisir. Ada banyak nelayan yang sulit akses ke laut atau bahkan sekadar menambatkan perahu karena adanya privatisasi pesisir. Bahkan akses publik untuk melakukan rekreasi di pantai kian berkurang. Contoh kasus, Kota Kupang.

Dalam aksi Hari Maritim Indonesia 21 Agustus 2017 ini, WALHI dan Sahabat Alam NTT juga menyatakan 6 (enam) butir pernyataan sikap terhadap Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota di NTT, bahwa:

1.Gerakan masuk laut tidak pernah terwujud karena kebijakan lain justru mempersulit akses untuk ke pesisir/laut.
2.Pemerintah propinsi harus melakukan intervensi pada kebijakan pembangunan kota/kabupaten yang justru bersebrangan dengan Germala.
3.Membuat kebijakan yang melindungi kepentingan nelayan dan rakyat kebanyakan dari upaya pencemaran laut dan privatisasi kawasan pesisir di NTT.
4.Stop kebijakan pariwisata pesisir berbasis investor, perluas ruang pariwisata pesisir yang dikelola oleh rakyat.
5.Menghentikan pencemaran laut di NTT dan serius mengurus masalah pencemaran laut Timor bersama pemerintah Australia.
6.Kebijakan pemerintah daerah agar patuh pada UU no 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil.