Politik Identitas: Pemicu Konflik
Oleh : Lazarus Efi
Politik praktis di negara kita semakin hari semakin menunjukan prestasinya dalam panggung yang penuh gemerlapan kepentingan dan kekuasaan. Politik seakan bergeser dari esensinya yang ultim yakni memperjuangkan bonum commune atau sesuai mandat konstitusi kita di sebut sebagai kesejahtraan umum. Politik telah mengalami reduksi menjadi ajang pertarungan kepentingan, pemerasan dan lain sebagainya. Makna asali politik seakan mengalami pergeseran hanya pada fakta carut-marut realitas politik. Dengan kata lain wacana politik telah mengalami pergeseran dan hanya berkonsentrasi pada kepentingan oknum tertentu yakni politikus.
Salah satu fakta carut-marutnya politik di Indonesia saat ini yakni munculnya politik identitas. Pemilihan politikus cendrung didasarkan bukan lagi atas dasar kualitas dari politikus itu sendiri melainkan atas dasar identitas.Tidak mengherankan bahwa dalam sejarah pemilu di Indonesia, politik tidak melepaskan diri dari faktum identitas. Menilik pada tahun-tahun pemilu sebelumnya, identitas dijadikan sebagai senjata untuk melenyapkan lawan politik demi memenangkan kursi kepemimpinan. Disini yang minoritas akan kalah terhadap yang mayoritas.
Politik identitas itu sendiri sering kali dikaitkan dengan factor-faktor seperti agama, suku, gender, rasetnis dan lain sebagainya. Indonesia sendiri adalah sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras, etnis dan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan ini seharusnya dipandang sebagai kekayaan bersama demi kemajuan bangsa yang utuh. Namun, Ketika berbicara tentang politik,harus diakui dengan jujur bahwa upaya persatuan dalam konteks kemajemukan selalu ada dalam dialektika ketegangan. Kita pun harus mengakui bahwa konflik yang dimunculkan oleh politik seringkali menodai kebersamaan kita sebagai saudara sebangsa dan setanah air.
Lantas, apa itu politik Identitas?
Uraian mengenai politik identitas menurut Amy Guttman seorang filsuf politik kontemporer mengartikan identitas sebagai pengakuan terhadap seorang individu atau suatu kelompok tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh yang ditandai dengan masuk atau terlibat dalam satu kelompok atau golongan tertentu. Penggabungan ini tentu tidak terlepas dari adanya rasa persamaan yang didasarkan oleh sebuah identitas. Identitas itu meliputi gender, agama, suku, profesi, agama, budaya dan lain sebagainya. Politik identitas sendiri merupakan penjabaran dari identitas politik yang dianut oleh warga negara berkaitan dengan arah politiknya. Politik identitas lahir dari sebuah kelompok sosial yang merasa diintimidasi dan didiskriminasi oleh dominasi negara dan pemerintah dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar lahirnya politik identitas dalam persoalan kenegaraan.
Politik identitas pertama kalinya lahir di Amerika Serikat 1974 yang berkaitan dengan diskriminasi yang sangat kental antara warga kulit putih dengan warga kulit hitam. Kala itu, yang menjadi focus perjuangan adalah kesetaraan untuk semua tanpa mengabaikan kepentingan Bersama. Namun pada saat ini, dalam dunia perpolitikan modern, politik identitas yang dulunya menjadi alat perjuangan bergeser menjadi alat perebutan kekuasaan oleh elit politik untuk meraih suara dalam pemilu, dengan cara menciptakan rasa takut dan benci masyarakat terhadap lawan politiknya.
Atas dasar pernyataan di atas, kita dapat bertanya,apakah benar bahwa politik identitas dapat melahirkan konflik didalam masyarakat kita?bukankah politik identitas pada hakekatnya adalah baik (good) seperti yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1974? De fakto kita menyaksikan secara jelas bahwa di Indonesia politik identitas telah berubah menjadi ugly (jelek) dan bad (buruk). Seperti halnya pada Pilgub 2017 di DKI Jakarta. Sejumlah riset menunjukan bahwa Pilgub DKI Jakarta menjadi salah satu kontes politik yang sangat kental dengan nuansa politik idetitas.
Bahkan nuansa itu terus berlanjut hingga Pilpres 2019. Isu identitas yang paling kental pada saat itu ialah agama. Bermula dari kasus penistaan agama Islam oleh petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Di sini terlihat jelas bahwa agama digunakan sebagai sarana untuk melenyapkanlawan dan memenangkan kursi kepemimpinan.
Belajar dari kasus ini, tidak menutup kemungkinan bahwa politik identitas ini akan muncul dalam pemilu 2024 mendatang. Strategi kampenye yang disusun oleh para calon pastinya akan memuat isu-isu seputar identitas untuk menarik simpati rakyat. Akan sangat berbahaya jika hal ini terjadi, sebab menilikrealitas Indonesia yang multicultural akan sangat bepotensi untuk memuncul kankonflik yang berujung perpecahan.
Oleh karenaitu, praktek politik identitas yang terjadi sebelumnya menjadi pelajaran penting pada pemilu 2024 mendatang. Sebagai negara yang multi cultural serta menjunjung tinggi demokrasi, sudah sepantasnya trik-trik kuno tentang identitas dihilangkan dalam perpolitikan. Kita semuadari Sabang sampai Merauke memiliki kesetaraan hak dalam pemilu. Tidak hanya orang Jawa yang bisa duduk di kursi kepresidenan, tidak hanya orang Islam saja yang bisa menjadi pemimpin negara, orang non-muslim juga bisa. Dalam artian bahwa identitas bukan lagi penghalang bagi kita untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat, tetapi seorang pemimpin yang baik adalah dia yang mampu untuk mengayomi masyarakat dan mampu untuk menyatukan perbedaan yang ada bukan malah sebaliknya.
Penulis: Lazarus Efi, Mahasiswa semester II Fakultas Filsafat Unwira Kupang