Terkatung-Tarkatung 6 Tahun Karyawan dan Mantan Pilot Merpati Surati Jokowi
Laporan Adi Rianghepat
Kupang, NTTOnlinenow.com – Sudah enam tahun berlalu dan nasib ribuan eks-pegawai PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) tidak kunjung mendapat kepastian. Ketidakpaatian itu terkait hak normatif berupa uang pesangon dan uang pensiun. Para mantan karyawan dan pilot pada maskapai penerbangan milik negara itu pun menuntut pemerintah.
Ketua Paguyuban Pilot Ex Merpati (PPEM), Capt. Anthony Ajawaila mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada Kamis, 17 Juni 2021 sebagai upaya memohon dukungan agar permasalahan pesangon eks-pegawai Merpati segera terselesaikan. Selain kepada Presiden RI, surat terbuka tersebut juga ditembuskan kepada Wakil Presiden RI, Menteri BUMN RI, Menteri Keuangan RI, Menteri Perhubungan RI dan Menteri Ketenagakerjaan RI. Selanjutnya kepada Ketua Komnas HAM RI, Ketua Komisi VI DPR RI, dan Ketua Ombudsman RI.
Anthony menjelaskan, terdapat ribuan karyawan eks MNA yang hak-hak normatifnya belum dipenuhi. Hal itu berupa cicilan kedua uang pesangon dari 1.233 pegawai sejumlah Rp318,17 milyar serta nilai hak manfaat pensiun berupa solvabilitas (Dapen MNA dalam Likuidasi) dari 1.744 Pensiunan, sebesar Rp. 94,88 Milyar.
“Kami sudah menempuh berbagai upaya sejak 2016 tetapi hingga kini tidak ada kepastian kapan hak pesangonnya akan dibayarkan. Sedangkan masing-masing eks-pegawai berharap uang pesangon akan dinikmati di masa pensiun, maupun untuk melanjutkan keberlangsungan hidup keluarganya,” katanya sepertinya yang ditulis dalam rilis dan diterima media ini, Jumat (25/6/2021).
Menururnya, dengan tidak dibayarnya uang pesangon tersebut tentunya menjadi masalah di setiap keluarga pegawai, mulai dari adanya perceraian, anak sakit, putus sekolah, alih kerja menjadi supir ojol, tukang bangunan dan lainnya. “Bahkan setiap minggu kami mendengar kabar kematian rekan kami sesama eks pegawai MNA,” tulisnya.
Capt. M. Masykoer menambahkan, dalam surat terbuka kepada Presiden, PPEM juga menyampaikan apabila MNA akhirnya harus ditutup atau dilikuidasi oleh negara, maka seluruh bekas karyawan merpati juga tidak memiliki daya dan kuasa untuk mencegahnya. Namun, hendaknya MNA sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak lalai dalam kewajibannya memenuhi hak-hak mantan pegawainya.
“Janganlah kami diperlakukan seperti kata pepatah ‘habis manis, sepah dibuang’. Kami memohon dengan sangat, perhatian serta pertolongan Bapak Presiden untuk membantu dapat segera dibayarkannya hak pesangon, begitupun hak pensiun kami yang sampai saat ini tidak ada kepastiannya,” ujarnya.
Sebelumnya, seluruh unsur pegawai termasuk pilot telah melakukan berbagai upaya untuk menuntut hak-hak normatif tersebut. Sejak tidak menerima gaji mulai Desember 2013, telah melakukan demo hingga akhirnya pada tahun 2016, pemerintah melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) menetapkan program restrukturisasi karyawan berupa PHK masal, dengan pembayaran pesangon dicicil dalam dua tahap.
Sebenarnya peraturan ketenagakerjaan tidak membolehkan pesangon dicicil, tetapi pada kenyataannya dengan berbagai cara dan tanpa dipahami oleh pegawai telah terjadi pembayaran pesangon yang dicicil dalam dua tahap. Cicilan pesangon tahap-I dibayarkan sebesar 50%, sementara cicilan pesangon tahap-II diterbitkan menjadi surat pengakuan utang (SPU) dijanjikan akan dilunasi pada Desember 2018.
Janji pembayaran cicilan pesangon tahap-II tidak pernah terjadi, malah tanpa dipahami oleh pegawai, salah satu kreditur MNA, PT Parewa Catering mengajukan PKPU terhadap MNA, dan proses PKPU bergulir di Pengadilan Niaga Surabaya, bulan Nopember 2018. Kala itu terbit keputusan damai bahwa homologasi diterima, dan segala yang berbentuk utang termasuk Surat Pengakuan Utang (SPU) pegawai menjadi masuk kedalam homologasi yang diharapkan akan bergulir atau mulai ada kepastian pembayaran ditandai dengan terbitnya ijin terbang MNA (AOC).
Masalahnya, proses homologasi sampai saat ini menjadi tidak jelas penyelesaiannya karena investor MNA pendukung PKPU masuk penjara karena kasus penipuan, dan Ijin Terbang (AOC) tidak pernah terbit. Selama izin terbang tidak terbit, maka eksekusi keputusan Pengadilan Niaga Surabaya tidak akan pernah bisa dilaksanakan, sehingga cicilan pesangon tahap-II menjadi tidak jelas kapan dibayarkan.
Keresahan serupa juga diungkapkan Pilot Eks MNA, Eddy Sarwono. Penerbang yang telah mengabdikan diri selama 35 tahun di MNA ini berpendapat, pesangon dan pensiun adalah hak yang harus dibayarkan oleh perusahaan dan dilindungi oleh undang-undang. Pemerintah juga harus mengingat jasa-jasa dan prestasi yang telah ditorehkan oleh MNA sebagai maskapai perintis di masa-masa kejayaannya sesuai dengan slogannya sebagai “Jembatan udara nusantara”.
“Para eks karyawan tidak mengharapkan tanda jasa, kami hanya memohon perhatian dari pemerintah. Mengingat misi tugas MNA sebagai jembatan udara nusantara yang merintis membuka daerah-daerah terpencil di Indonesia. MNA bukanlah BUMN yang hanya berorientasi pada profit semata, kami hanya ingin kejelasan tentang hak-hak kami sebagai eks karyawan untuk menunjang hidup di masa tua kami,” ujar Eddy.
Belum jelasnya permasalahan ini tidak hanya berdampak pada eks karyawan MNA, namun juga pada keluarga. Seperti halnya dialami Christina Retno Dwi Ernawati, istri dari salah satu pilot eks Merpati yang sudah meninggal.
“Kami sangat berharap semoga Bapak Presiden Jokowi mendengar suara hati kami dan memberi keadilan atas hak-hak normatif dari seluruh eks pegawai yang sudah mengabdikan diri untuk MNA,” keluh Christina.
Anthony berharap melalui surat terbuka ini, upaya para anggota PPEM untuk menuntut hak-hak normatifnya dapat berhasil. “Saat ini semua solusi seolah terkunci, dan satu-satunya jalan keluar adalah adanya kebijakan pemerintah agar masalah pesangon karyawan MNA dibayarkan,” katanya.
“Kami berharap Bapak Presiden Jokowi yang memiliki kuasa penuh lewat kebijakannya mampu memastikan pembayaran hak pesangon dan hak pensiun karyawan MNA ini bisa terpenuhi. Kami sangat berharap Presiden Jokowi dapat membantu kami,” harapnya.*