Tekan Angka Kematian Ibu-Anak Dengan Cara Membuat Rumah Tunggu dan Penyediaan Ambulance

Bagikan Artikel ini

Atambua, NTTOnlinenow.com – Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang dicanangkan Pemprov NTT lewat Pergub dimana mengharuskan semua ibu hamil jika hendak bersalin harus dililakukan di fasilitas kesehatan.

Karena kondisi saat ini menunjukkan masih tingginya kasus kematian ibu dan bayi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tidak terkecuali kabupaten Belu juga salah satu Kabupaten di NTT yang masih menyumbang kasus kematian ibu dan anak dengan prosentase tinggi.

Kepala Dinas Kesehatan Belu, dr Joice Manek melalui Kabid kesehatan masyarakat, Adriana Fouk, beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa dibawa pemerintahan bupati Belu Wilibrodus Lay-J.T Ose Luan berupaya untuk menekan angka kematian dengan cara membuat rumah tunggu dan penyediaan ambulance pada tiap puskesma bagi seluruh wilayah kabupaten Belu.

Angka kematian ibu di Belu sejak tahun Tahun 2016 mati 5 orang. Lalu meningkat menjadi 6 orang pada tahun 2017, tahun 2018 meningkat menjadi 10, tahun 2019 kembali 5 orang ibu meninggal dan tahun 2020 kondisi September ibu yang meninggal 9 orang.

“Jadi total sejak tahun 2016-2020 September terdapat 35 orang ibu meninggal karena melahirkan. Sedangkan khusus untuk bayi sejak tahun 2016 terdapat Kematian bayi sebanyak 67 orang, 2017 sebanyak 39 orang, tahun 2018 sebanyak 57 orang, tahun 2019 sebanyak 87 orang dan tahun 2020 kondisi September sebanyak 47 orang. Sehingga total kematian bayi mencapai 297 orang,” jelas dia.

Dikatakan, tujuan penempatan ambulance bagi tiap rumah tunggu dan Puskesmas supaya petugas kesehatan mengantar jemput setiap ibu yang hendak melahirkan di fasilitas kesehatan sehingga kematian bisa diminimalisir. Karena tiap ibu hamil memiliki jadwal mendekati melahirkan sehingga 2 hari sebelum persalinan sudah harus berada di rumah tunggu.

“Karena semua komponen pasti pandangan kita sama. Bahwa kematian ibu dan bayi bukanlah gambaran yang indah untuk dipandang karena masih terbilang tinggi, yang juga merupakan gambaran kesadaran dan kepedulian masyarakat terutama suami terhadap ibu hamil dan bayi masih rendah itu yang menyulitkan petugas kesehatan juga,” ujar Adriana.

Dijelaskan, untuk menurunkan kasus kematian ibu dan bayi, maka harus ada upaya bersama antara stakeholder terkait untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran aktif keluarga dan masyarakat agar mampu mencegah dan mengurangi risiko kematian ibu dan bayi melalui pendampingan yang optimal dari keluarga dan masyarakat.

“Ini yang harus dipahami para suami supaya para ibu hamil bisa tenang menghadapi persalinan karena ada dukungan penuh ujarnya. Semua pihak tak hanya petugas dan fasilitas kesehatan yang dituntut selalu optimal, tetapi harus ada kesadaran pihak lain termasuk tokoh masyarakat, tua adat, suami atau keluarga untuk peduli terhadap ibu hamil dan bayi baru lahir,” sebut Kabid Dinkes Belu itu.

Menurut dia, di Kabupaten Belu jumlah kasus kematian ibu menurun dari sembilan pada tahun 2015 menjadi lima pada tahun 2016, namun jumlah kasus kematian bayi meningkat dari 57 pada tahun 2015 menjadi 67 pada tahun 2016. Ini harus diakui bahwa Dinkes Belu maupun stakholder lainnya belum maksimal dalam menekan angka kematian ibu dan anak.

Pada tahun 2016 di Kabupaten Belu, dari 4.755 ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan (Antenatal Care), 23,8 persen terdeteksi beresiko tinggi, mengidap penyakit kronis, penyakit infeksi. Menderita kekurangan energi kronis (KEK) sebesar 22,5 persen. Menderita kurang darah atau anemia, 17,4 persen dan masih berusia 18 tahun ke bawah sebesar 5,3 persen.

Jika disandingkan dengan kondisi di akhir kehamilan, 3,8 persen ibu mengalami abortus, 1,6 persen melahirkan bayi sebelum waktu (prematur), dan sekitar 12 persen ibu bersalin pada fasilitas kesehatan yang belum memadai. Faktor-faktor penyebab tidak langsung kematian adalah kesadaran dan kepedulian masyarakat yang rendah terhadap kesehatan ibu hamil, dan bayi baru lahir. Selain itu, pengetahuan dan kemampuan mendeteksi secara sederhana dan lebih awal tentang bahaya-bahaya pada kehamilan persalinan dan bayi baru lahir juga masihh kurang.

Ada dua faktor penyebabnya yakni faktor 4 Terlalu dan faktor 3 Terlambat. Faktor 4 Terlalu yaitu terlalu tua, terlalu muda, terlalu banyak dan terlalu sering melahirkan. Sedangkan faktor 3 Terlambat antara lain, terlambat mengetahui bahaya-bahaya kehamilan, terlambat memutuskan dan terlambat tiba di fasilitas kesehatan memadai untuk mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan.

Faktor keterlambatan sering terjadi karena ibu hamil atau ibu bersalin tidak diberikan hak sebagai pengambil keputusan dalam keluarga. Hak tersebut ada pada suami atau orang tua, bahkan ada pada orang yang dianggap penting atau dituakan dalam keluarga seperti paman atau ketua suku. Sehingga pengambilan keputusan untuk bersalin terhambat dan seringkali terlambat penanganan ibu dan bayi yang menghadapi risiko kematian dan terjadilah keterlambatan mendapatkan penanganan kegawatdaruratan kehamilan atau persalinan dan menyebabkan kematian.

Alasan keterlambatan lainnya, kata Adriana adalah sebagian ibu hamil tidak atau belum memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS). Padahal, Program Indonesia Sehat menjadi program utama pembangunan kesehatan dengan salah satu sasarannya adalah meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu dan anak.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 97 tahun 2014 mensyaratkan bahwa untuk terlaksananya pelayanan kesehatan yang berkualitas perlu memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan. Peran aktif masyarakat dapat mencegah dan mengurangi serta mengatasi masalah kesehatan ibu hamil, dan bayi baru lahir dengan keterlibatan langsung dalam kegiatan dari, oleh dan untuk masyarakat.

Hal ini pun sudah diatur dalam satu dari 12 pokok strategi pembangunan kesehatan adalah meningkatkan promosi kesehatan dan pemberdayaan. Sehubungan dengan hal ini, ibu hamil, suami, keluarga dan masyarakat perlu diberikan pengetahuan yang memadai tentang tanda-tanda bahaya pada kehamilan, dan bayi baru lahir yang dilaporkan secara teratur kepada petugas di fasilitas kesehatan terdekat seperti Pustu untuk mendapatkan penanganan secara cepat dan tepat.

Adanya peluang untuk berpartisipasi dan bergotong-royong mengabdikan diri bagi ibu hamil dengan resiko tinggi maupun resiko sedang agar selamat dalam persalinan dan sehat bayinya. Sedangkan bagi Dinas Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan, tersedianya data dan informasi yang selalu terbaru tentang keadaan ibu hamil, bersalin dan bayi baru lahir.

Sehingga mempermudah petugas medis/paramedis untuk melakukan penanganan pada ibu hamil, bersalin dan bayi baru lahir. Adanya pedoman dalam penanganan ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir yang beresiko. Bagi Pemerintah Kabupaten Belu, jumlah kematian ibu dan bayi menurun sebagai keberhasilan pembangunan kesehatan, Status kesehatan ibu dan bayi meningkat.

“Kesuksesan menekan angka kematian ibu dan anak tergantung pada optimalisasi peran dari masing-masing stakeholder,” kata dia.

Adriana, mengatakan stakeholder dalam tiga bagian yakni stakeholder utama antara lain, Bupati dan Wakil Bupati, DPRD Kabupaten Belu, Sekretaris Daerah, BP4D, Dinas Kesehatan, RSUD Atambua, Rumah Sakit atau Klinik Swasta, 12 Camat, 17 Puskesmas, 16 Pustu, 42 Poskesdes atau Polindes.

Stakeholder primer diantaranya, ibu hamil, suami, keluarga, kader kesehatan dan dukun beranak. Stakeholder sekunder yang meliputi, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Dinas PP dan KB, BPJS Kesehatan, Tokoh perempuan, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, NGO, Media Massa. (YB-Advetorial Dinas Kominfo Belu)