Jaksa Soroti Lahan Bermasalah Pembangunan Patung Raksasa di Teluk Gurita

Bagikan Artikel ini

Laporan Yansen Bau
Atambua, NTTOnlinenow.com – Lahan yang dijadikan untuk membangun patung raksasa Bunda Maria di Teluk Gurita, Desa Dualaus, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, Timor Barat wilayah perbatasan RI-Timor Leste masih bermasalah.

Pasalnya, tiga Suku Kaliduk yakni Suku Kaliduk Uma Meo, Kaliduk Uma Katuas dan Kaliduk Beihale selaku pemilik lahan menolak menyerahkan lahan ulayat. Akibatnya rencana pembangunan patung dimaksud berujung polemik.

Ditemui awak media di ruangka kerja, Selasa (18/6/2019) Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Belu, Alfonsius Loe Mau mengatakan, sebelum dilaksanakan pembangunan patung raksasa dimaksud pihaknya telah mengingatkan kepada Pemerintah Kabupaten Belu untuk menyelesaikan dan memperjelas status lahan tersebut.

Peringatan terkait guna menyelesaikan lahan tersebut dimaksudkan agar dalam pembangunan patung raksasa yang menelan anggaran kurang lebih senilai Rp 15.942.000.000 tidak terjadi masalah di kemudian hari.

Loe Mau menuturkan, lahan yang digunakan untuk pembangunan patung tersebut masih bermasalah. Hal itu diketahuinya setelah ada surat penolakan dari Suku Kaliduk sebagai pemilik lahan yang isinya keberatan menyerahkan lahan kepada Pemkab yang diterima pihaknya.

Menurut dia, apabila dari awal masih terdapat masalah Suku pemilik lahan yang menolak menyerahkan lahan kepada Pemerintah Daerah, seharusnya masalah itu diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilaksanakan pembangunan.

“Sebaiknya harus dipastikan dulu, diselesaikan dulu status lahan itu sebelum melaksanakan pembangunan sehingga tidak bermasalah,” kata Loe Mau.

Akui dia, selaku Ketua Tim Pengawas, Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) pihak Kejaksaan memang diminta Pemkab Belu melalui Dinas Pariwisata untuk mendampingi proses perencanaan pembangunan patung raksana tersebut.

Dalam pengajuan permohonan kali lalu jelas Loe Mau, Dinas teknis (Dinas Pariwisata) memaparkan item pelaksanaan. Sebelum itu pihaknya telah mendapat tembusan surat terkait tanah yang masih bermasalah. “Jadi, kita berikan masukan agar selesaikan dulu sengketa tanah agar kedepan proses pembangunan tidak bermasalah sehingga proyek tidak sampai terlambat,” urai dia.

Ketika disinggung soal
mekanisme perencanaan hingga penganggaran pembangunan patung yang bersumber dari APBD II itu, Loe Mau menjelaskan, seharusnya dilakukan kajian secara matang terlebih dahulu. Sehingga saat penetapan anggaran untuk pembangunan bisa langsung dieksekusi.

“Sebaiknya suatu perencanaan dilakukan secara matang. Proses penganggaran kalau sudah disetujui DPR (DPRD Belu) harusnya sudah sesuai mekanisme. Untuk itu perlu perencanaan matang, termasuk kajian teknis, non teknis, ketersediaan lahan perlu dipertimbangkan sebelum anggaran disetujui. Sehingga pada saat penganggaran sudah langsung dieksekusi,” terang dia.

Untuk diketahui, pembangunan patung di pesisir pantai utara Atapupu itu terancam gagal, padahal proses pembangunan patung raksasa itu akan segera mulai dikerjakan oleh PT. Enviture Mulia Persada asal Semarang-Jawa Tengah selaku pemenang tender dengan nilai proyek Rp 15.942.000.000.

Namun pelaksanaan pembangunan patung itu mengalami kendala lantaran adanya reaksi keras penolakan penyerahan lahan dari tiga anggota Suku Kaliduk masing-masing Suku Kaliduk Uma Katuas, Kaliduk Uma Meo dan Kaliduk Uma Beihale selaku pemilik hak ulayat.

Selain itu Suku Kaliduk akan mengembalikan uang senilai Rp 30 juta yang diberikan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Belu sebagai uang ritual adat untuk penyerahan lahan pembangunan patung itu.

Menurut Ketua Suku Kaliduk Uma Katuas, Sipri Metty saat dihubungi media di Atambua, Sabtu malam (15/6/2019) mengatakan, pengembalian uang itu sebagai bentuk penolakan penyerahan tanah Suku Kaliduk yang akan dibangun patung.

“Uangnya kami akan kembalikan ke Pemkab Belu dan kami tolak menyerahkan tanah untuk pembangunan patung itu sebelum permintaan kami dipenuhi Pemerintah,” ucap Ketua Suku Kaliduk, Sipri Metty didampingi Ketua Suku Kaliduk Uma Beihale Yoseph Antoni Leki.

Sesuai rencana, harusnya ritual adat untuk pembangunan Patung raksasa di Teluk Gurita dilakukan hari Senin, (17/06/2019) kemarin, namun tidak terlaksana lantaran ketiga Suku Kaliduk menyatakan penolakan tidak bisa melaksanakan ritual adat tersebut.

Sebelumnya, Bupati Belu Willy Lay kepada awak media yang dihubungi di rumah jabatannya, Selasa (11/6/2019) lalu mengatakan, tidak ada lagi permasalahan lahan atau tanah terkait pembangunan patung tersebut.

Saat disinggung terkait keberatan Ketua Suku Kaliduk Uma Meo, Amandus Hale bahwa mereka merasa ditekan, Bupati Lay menyampaikan itu tidak benar. Itu hanya dinamika saja dalam proses penyerahan tanah tersebut.

“Tidak ada tekanan, itu hanya dinamika saja. Masalah tanah tidak ada,” ujar Lay.