Sikapi Hasil Pemilu, Gunakan Mekanisme Demokratik
Laporan Frans Watu
Jakarta, NTTOnlinenow.com – Pemilihan Umum 2019 adalah momen penting bagi proses demokrasi bagi bangsa Indonesia. Pemilu yang dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019 adalah untuk pertama kalinya diselenggarakan bersamaan antara pemilihan Presiden dan anggota legislatif. Rakyat Indonesia tidak hanya akan memilih Presiden dan Calon Anggota Legislatif yang akan mewakili mereka selama 5 tahun ke depan, tetapi juga menentukan tipe kebijakan seperti apa yang akan dibawa oleh Presiden dan Anggota Legislatif tersebut.
Berdasarkan hitung cepat (quick count, QC) Jokowi Ma’ruf unggul atas Prabowo Sandi di kisaran angka 10%. QC adalah indikator dari penghitungan secara keseluruhan suara rakyat dalam Pemilu yang diambil dengan menggunakan teknik sampling dari real count perolehan suara di TPS. Oleh karena itu, QC yang dirilis oleh berbagai lembaga survei bisa dijadikan acuan untuk menyimpulkan keunggulan pasangan Calon Presiden nomor 01.
Sebagai sebuah produk pengetahuan ilmiah, QC telah diterima dalam praktik demokrasi dan teruji validitasnya sebagai instrumen pengawasan penghitungan dari potensi kecurangan. Oleh karena itu, produk QC harus dibela. Bukan membela lembaga survei atau pasangan Capres 01, tetapi membela suara rakyat yang sudah dihitung secara cepat.
Untuk menghindari potensi ketegangan baru antarpendukung, semua pihak tidak melakukan klaim-klaim dan perayaan berlebihan. Semua pihak tetap menunggu proses penghitungan manual yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, tegas Ketua SETARA Institute Hendardi.
Jika Jokowi hanya bersyukur atas QC, Prabowo justru menentang. Ini suatu sikap normatif para calon dalam merespons hasil pemilihan, yang diharapkan tidak membakar emosi pendukung, tegas Hendardi.
Fakta sejumlah ketidakteraturan penyelenggaraan Pemilu dan klaim kecurangan yang diajukan pihak Capres 02 sebaiknya diselesaikan dalam kerangka demokratik. Kita punya Mahkamah Konstitusi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa. Maka ke sanalah semua komplain diajukan.
Menurut Hendardi ide menggerakkan warga untuk melakukan perlawanan atas produk demokrasi harus ditolak. Apalagi gagasan people power. Publik menyimak bahwa seluruh komplain atas penyelenggaraan Pemilu telah dan terus direspons dan disikapi oleh KPU, Bawaslu, dan DKPP. Karena itu tidak ada argumen legal dan konstitusional untuk mendelegitimasi kinerja para penyelenggaran Pemilu.