NTT Miliki Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu
Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini memiliki sembilan potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan sumber pendapatan masyarakat maupun pendapatan daerah.
Kepala Bidang (Kabid) Perhutanan Sosial, Dinas Kehutanan Provinsi NTT, Frans A. B. Fobia sampaikan ini pada kegiatan Media Workshop yang digelar oleh WWF, didukung CIFOR dan Kannopi yang dilaksanakan di Kupang, Sabtu (14/7/2018).
Frans menyebutkan potensi HHBK Provinsi NTT tersebut, yakni Madu Hutan, Bambu, Kemiri, Pinang, Cendana, Gaharu, Jambu Mete dan Porang (Ubi hutan). Semuanya ini tersebar hampir merata di semua kabupaten di provinsi berbasis kepulauan itu.
“Khusus untuk Porang, tersebar merata di setiap pulau terutama pada wilayah dengan kelembaban lebih besar atau sama dengan 60 persen,” sebut Frans.
Menurut Frans, luas kawasan hutan dan konservasi perairan Provinsi NTT berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 3911/Menhut-VII/KUH/2014 yakni 1.784.751 Hektare (Ha), tersebar pada 291 Kawasan Hutan (KH) dengan penutupan lahan 27 % dan 73 % non hutan.
“Kawasan hutan NTT berdasarkan fungsinya mencakup Hutan Konservasi (HK) yang terbagi dalam daratan dan perairan, Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi Konservasi (HPK),” paparnya.
Dia menjelaskan, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan. Dan yang namanya kawasan hutan tidak mesti berhutan atau ditumbuhi pohon-pohon.
“Sehingga untuk NTT, kawasan hutan seluas 1,78 hektar itu yang berhutan hanya seluas 72 persen, sedangkan selebihnya tidak berhutan. Hutan yang dimaksud di sini adalah hutan primer atau berhutan lebat,” jelasnya.
Perwakilan CIFOR (Center for International Forestry Research), Ani Adiwinata Nawir mengatakan, HHBK merupakan salah satu sumber daya kawasan yang paling menyentuh kehidupan masyarakat sekitar hutan. Namun kebijakan terkait HHBK di tingkat daerah belum memadai.
“HHBK belum sepenuhnya menjadi concern atau kepedulian walaupun disadari bahwa potensinya cukup tinggi serta memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi rakyat. Kebijakan HHBK belum dituangkan dalam produk legislasi dan atau rencana strategis di daerah,” katanya.
Ani menyatakan, dengan pendekatan penelitian aksi partisipatif, CIFOR dan lembaga mitra (WWF Indonesia, Pokja Hutan Rakyat Lestari, Universitas Mataram, Universitas Gadjah Mada dan Dinas Kehutanan di Kabupaten Gunungkidul, Sumbawa dan Timor Tengah Selatan/TTS) memfasilitasi proses pengembangan kerangka kebijakan dan regulasi yang mendukung sistem produksi dan strategi pemasaran kayu dan non-kayu yang terintegrasi.
“Sejak tahun 2013, kami melakukan proses partisipatif dengan berbagai pihak yang dikoordinasikan oleh tim Pokja Kebijakan di masing-masing lokasi bersama-sama dengan tim Kebijakan Kanoppi. Pelatihan di tingkat masyarakat untuk meningkatkan pemahaman aturan-aturan dan kebijakan yang terkait juga menjadi kegiatan proritas,” tandasnya.