Kerusakan Lingkungan Hidup Perspektif Teori Kausalitas
Oleh Kristianus Tage
Dalam menghadapi sebuah permasalahan dan tantangan mengenai pengaruh-pengaruh atau sebab-akibat yang merusak alam semesta ini, yang terjadi secara berkepanjangan dan tak menuai hasilnya atau tanda- tanda berakhirnya dengan proses penyelesain terhadap dengan kosmos kita ini. Apa yang sesungguhnya yang menyebabkan krisis, bencana dan kerusakan lingkungan hidup global yang hari- hari, melanda dunia, termasuk Indonesia? Sebab, permasalahan ini bukan hanya memikirkan pada satu pihak saja, yakni tentang nasib alam semesta, nasib bumi, serta nasib makhluk hidup termasuk manusia, yang terancam oleh bencana, krisis dan kerusakan lingkungan hidup sehari- hari.
Tetapi, dipihak lain yakni pergumulan panjang ini lahir dari kepedulian dan panggilan profetis untuk ikut mengatasi krisis dan bencana liangkungan hidup ini, tidak hanya pada tataran teknis praktis- sebagaimana sebagian rekomendasi teknis dan praktis melainkan juga pada tataran refleksi filosofis ilmiah. (buku: filsafat lingkungan hidup). Sehingga, pencarian akar dari krisis dan bencana lingkungan hidup global dan upaya mencari jalan keluar untuk menghindari dampaknya berupa musnahnya kehidupan di planet bumi ini. Krisis dan bencana atau kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh kesalahan perilaku manusia. Kesalahan perilaku manusia disebabkan oleh karena kesalahan cara pandang atau paradigma berpikir. Disatu sisi, selain menyangkut peninjaun kembali dengan cara pandang manusia tentang realitas di sekitarnya, tetapi disatu sisi krisis lingkungan hidup yang kita alami sampai sekarang juga berkaitan dan harus dicari sampai ke akarnya pada krisis pemahaman kita tentang hakikat lingkungan hidup, tentang hakikat ekosistem, tentang hakikat alam semesta, dan hakikat kehidupan atau tepatnya hakikat dan makna lingkungan hidup (lingkungan atau alam yang mengandung kehidupan di dalamnya).
Tesis dan posisi dasar ini dibangun diatas landasan filsafat Thomas Khun tentang perubahan paradigma (paradigm shift) yang menjadi kerangka berpikir dari seluruh pergumulan tentang krisis dan bencana atau kerusakan lingkungan hidup global. Dalam hal ini, dengan menggunakan kerangka berpikir Thomas Khun setidaknya filsafat tentang alam telah mengalami tiga fase dan dua paradigma. Fase pertama adalah zaman para filsuf alam, dengan tokoh Aristoteles, yang memahami alam semesta secara organis sebagai sebuah kesatuan asasi. Pemahaman ini bertahan samapai abad pertengahan samapai sekitar tahun 1500 sekaligus juga membentuk karatker dan perilaku manusia terhadap alam dalam sebuah pola hubungan harmonis yang melindungi alam semesta seluruhnya sebagai bagian dari kehidupan manusia. Fase kedua lahir pada abad pencerahan yang mengubah seluruh cara pandang tentang hakikat alam semesta.
Dimana, terjadilah perubahan yang mengabaikan paradigma organis tentang alam dan digantikan dengan paradigma mekanistis tentang alam semesta yang sangat mendominasi masyarakat modern. Sehingga, dianggap sebagai satu- satunya pemahaman yang benar tentang alam semesta- yang kemudian membentuk karakter perilaku dan peradaban (barat) modern yang mempunyai dampak yang luar biasa dalam berbagai bidang lainnya, termasuk di bidang lingkungan hidup sendiri. Paradigma mekanistis ini sangat dipengaruhi oleh filsafat Rene Descartes dan fisika Issac Newton. Dimana, alam semesta, demikian pula organisme- dipandang sebagi mesin yang terdiri dari bagian- bagiannya yang terpisah. Bagi Descartes, tumbuhan dan binatang pun dipandangan sekadar sebagai mesin, sama halnya juga tubuh manusia yang dipahaminya sekadar sebaga sebuah mesin. Hanya saja manusia berada diposisi yang lebih tinggi dari bintang dan makhluk hidup lainnya justru karena ada akal budi dan jiwa di dalamnya.
Perubahan Paradigma
Dengan menggunakan filsafat Thomas Khun, Fritjof Capra, seorang ahli fisika yang kemudian beralih menjadi filsuf ilmu pengetahuan, ia menanggap krisis dan lingkungan hidup yang kita alami dewasa ini bersumber dari yang apa yang disebut sebagai krisis pemahaman. bahwa kebanyakan diantara kita, secara khusus institusi- institusi sosial kita yang besar, menganut cara pandang yang sudah ketinggalan zaman, sebuah pemahaman tentang realitas yang sudah tidak memadai lagi dalam memahami dunia yang padat penduduk dan berhubungan satu sama lain secara global ini. untuk keluar dari krisis dan bencana lingkungan hidup tersebut, dibutuhkan perubahan radikal dalam pemahaman kita, dalam cara berpikir kita, dalam nilai kita.
Globalisasi Paradigma Teknokrasi
Karena itu dapat dikatakan bahwa akar dari banyak masalah dunia sekarang adalah terutama kecenderungan, yang tidak selalu disadari, untuk menetapkan metode dan tujuan teknosains menjadi paradigma pemahaman yang menentukan kehidupan individual dan cara kerja masyarakat. Akibat dari penerapan paradigm itu pada seluruh realitas, manusia dan masyarakat, tampak jelas dalam degradasi lingkungan, tapi itu hanyalah satu tanda dari reduksionisme yang mempengaruhi kehidupan manusia dan masyarakat dalam semau dimensi mareka. Perlu diakui bahwa produk- produk teknologi tidak netral karena mareka menciptakan kerangka kerja yang pada akhirnya membentuk gaya hidup, dan mengarahkan peluang- peluang di masyarakat ke arah kepentingan kelompok- kelompok berkuasa tertentu. beberapa pilihan yang tampaknya hanya mengenai peralatan, dalam kenyataanya, adalah pilihan tentang corak kehidupan sosial yang ingin dikembangkan.
Namun, akan menjadi keliru memandang makhluk- makhluk hidup lainnya sebagai objek belaka, yang tunduk kepada kekuasaan manusia yang sewenang- sewenang. Ketika kita memandang alam sebagai objek laba atau kepentingan saja. hal itu menimbulkan konsekuensi serius bagi masyarakat. Visi yang mendukung kesewangan- wenangan pihak yang paling kuat telah menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan dan kekerasan luar biasa bagi sebagian besar umat manusai, karena sumber- sumber daya akhirnya menjadi milik orang yang datang pertama atau yang paling kuat: pemenang mengambil segalanya. Cita- cita harmoni, keadilan, persaudaraan, dan perdamaian yang ditawarkanYesus adalah kebalikan dari model seperti itu, dan berkaitan dengan para penguasa zaman-Nya ia menyatakan demikian: penguasa- penguasa bangsa- bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar- pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mareka. Tidaklah demikian diantara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu (Matius 20: 25- 26) (Ensiklik Paus Fransiskus- ‘Laudato Si’).
Bencana NTT dan kritik Hans Kung
Sebagai bencana alam, tentu ia tidak punya kaitan langsung dengan perbuatan manusia. dalam tefleksi teologis “sekenanya” dikatakan secara sederhana seperti itu. Yang menjadi pertanyaan adalah; mengapa di dua daerah Amakaka (Lembata) dan Nelelamadike (Adonara) mendapat konsekuensi terparah? Pertanyaan ini serta merta membuka mata bahwa keterlibatan manusia tidak bisa dilepaskan begitu saja. Jelasnya, alam semestinya memiliki mekanisme untuk melindungi manusia apabila hadir goncangan dahsyat.
Namun, manusia oleh terlampau mengutamakan rasionalitas mengingkari seruan alam. hal membuat pria kelahiran Swiis bernama Hans Kung, mengungkapkan tentang peran agama dalam membangun etika global agar bahaya pertumbuhan daerah baik perang maupun dampak ekologis dapat terhindarkan. Yang terjadi justru sebaliknya. Masih terdapat apa yang disebut dengan patologi modernitas. Demi mengejar kemajuan, pembunuhan dan kematian jutaam manusia akibat perang, pembunuhan, kemiskinan, dan kelaparan serta kerusakan dan pencemaran lingkungan. Pada konteks bencana di NTT (khususnya Amakaka dan Nelelamadike), aspek kerusakan alam mengadi sebab terdekat tentunya tidak bisa dihindarkan begitu saja. Tentu tidak elok ketika masih dalam duka, para korban dipersalahkan.
Yang harus diakui, mareka bisa saja menjadi korban dari persaingan yang oleh Scoot Lash disebut sebagai estetikanisasi kehidupan. Mareka terdepak dari persaingan global dan tidak ada pilihan selain kembali memanfaatkan setiap jengkal tanah yang masih bisa untuk mempertahankan hidup.
Sehingga, Bapa Suci dalam seruannya- menyatakan bahwa semestinya kita harus kembali ke akar yang asli tanpa dosa. Sebab, manusia sudah merajalela atas alam semesta ini. Namun, perlu diingat bahwa kala itu, kita diciptakan dengan penuh cinta dan kelembutan serta tak ada satupun yang merasa kekurangan atau kerusakan.
Kristianus Tage Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang