Masyarakat Penerima Manfaat Mengaku Dipungli, Dalam Pelaksanaan Program Bedah Rumah di Kabupaten TTU

Bagikan Artikel ini

Laporan Judith Lorenzo Taolin
Kefamenanu, NTTOnlinenow.com – Aksi Pungutan Liar (Pungli) dalam Pelaksanaan Program Bedah Rumah Rakyat Tidak Layak Huni (BERARTI) tahap II yang diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di desa Tuabatan Barat, Kecamatan Miomaffo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) kembali terjadi.

Sebagian besar penerima manfaat mengaku dipungli uang dalam jumlah yang bervariasi untuk kepentingan pengangkutan material pembangunan rumah bantuan.

Aksi tersebut menuai protes dari para penerima manfaat, salah satunya Silfester Fobia. Ia menyatakan protes keras lantaran menilai Program Berarti yang dinilai dapat meningkatkan kualitas rumah masyarakat kecil, justru tidak berpihak kepada masyarakat. Salah satu bukti menurutnya, masih saja ada pungli terhadap masyarakat penerima manfaat.

“Pelaksanaan program Berarti katanya menganut tiga prinsip utama, tepat sasaran, tepat penggunaan dan tepat waktu. Katanya dengan pembangunan rumah Berarti dapat meningkatkan kemampuan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah untuk dapat meningkatkan kualitas rumah masyarakat secara swadaya dengan pendampingan. Namun dalam pelaksanaannya masyarakat kecil masih dipungli lagi”, ungkap bapak Silfester Fobia yang sejak bulan Agustus 2020 harus tidur di rumah darurat.

Ungkapan Silfester Fobia dibenarkan penerima manfaat lainnya. Mereka mengaku dimintai sopir pengangkut batako uang sebanyak Rp100 ribu perorang untuk biaya Bahan Bakar Minyak (BBM).

“Di RT 07, sejak awal pelaksanaan tahap II ada keterlambatan pendropingan batako. Kalau mau dapat batako, kami masing – masing KK harus ikut dengan truk ambil batako di Kefa. Kami diminta tanggung Rp 300 ribu per hari untuk beli Bahan Bakar Minyak (BBM) isi di truk. Kalau kita tidak ada uang berarti tidak dapat batako. Begitu?” tanya YK, salah satu penerima manfaat, kepada NTTOnlinenow.com, Kamis (04/03/2021).

“Air juga kami yang tanggung” tandas DB, penerima manfaat lainnya.

Pengakuan keterlambatan material juga disampaikan Fransiskus Talo. “Kita ribut dulu baru kasih turun bahan” ungkapnya.

“Sopir bilang besok tidak bisa ambil karena minyak habis. Jadi harus setor uang bensin Rp100 ribu per orang. Biasanya, 1 hari 3 orang yang ikut ambil batako, jadi per hari kami setor Rp300 ribu”, sambung BN, salah satu penerima manfaat di desa Tuabatan Barat.

Informasi yang berhasil dihimpun NTTOnlinenow.com saat turun ke lokasi, di dusun C, penerima manfaat tiga RT yakni RT 07, 08 dan 09 wajib ikut menjemput bahan bangunan, batako.

Dari RT 07, Blasius Nali, Demitius Bonlai, Nikolas Banafanu, Rosalina Lelbanu dan Antonius Obenu.

Di RT 08 dan RT 09, Firmus Loin, Fransiskus Fallo, Cornelis Toinjaas, Leonardus Lelbanu, Veronika Hausufa, Yohanes Kaunan, Anjelika Lelbanu, Dominika Banafanu, Marselinus Kune, Vinsensius Elu, Ansel Anoit, Romanus Tefa.

Sedangkan penerima manfaat dari RT 06 tidak ada yang bersedia menjemput bahan di Kefamenanu.

Protes lain datang dari penerima manfaat RT 06, Fransiska Tnaunama. “Kosen jendela kecil dan besar kami tanggung sendiri”, ungkap Fransiska.

Tonton video protes masyarakat penerima manfaat di desa Tuabatan Barat kaitan dengan aksi pungli :

Salah satu penerima manfaat yang enggan disebut namanya sampai menangis, lantaran didesak pemerintah setempat dalam hal ini pihak Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Pemukiman dan Pertanahan (PRKPP) untuk segera membongkar rumah dan membangun fondasi. Ia mengaku terpaksa menjual hewan piaraan dan pakaian dengan harga semurah mungkin, agar uangnya bisa dipakai untuk membayar tukang.

“Tukang desak minta panjar ongkos kerja, terpaksa saya jual barang – barang dan hewan piaraan dengan harga murah agar hasilnya bisa dipakai untuk bayar jasa tukang. Sudah begitu, material sangat lambat turun ke sini, kami harus tinggal di rumah darurat di musim hujan”, keluhnya.

Diketahui Program Berarti yang dilaksanakan Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Pemukiman dan Pertanahan (PRKPP) adalah Program Dubes Jilid II, sejak masa kepemimpinan Bupati dan Wabup terdahulu, Raymundus Sau Fernandes dan Aloysius Kobes. Salah satu janji politik melalui Program Berarti tersebut yakni upaya pemerintah untuk mendorong masyarakat miskin agar dapat meningkatkan kualitas rumahnya secara berkelompok sehingga lebih layak huni.

Sementara hasil penelusuran wartawan, yang terjadi hampir di seluruh desa para penerima manfaat sudah melakukan pembongkaran rumah dan membuat tenda – tenda darurat untuk ditempati sementara waktu. Namun sejak bantuan program Berarti itu bergulir dari tahun 2018, belum ada yang rampung di tahun 2021 dan masyarakat harus bertahan menetap di rumah dan tenda – tenda darurat di musim hujan.

Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara (Pemkab TTU) mengalokasikan anggaran sebesar Rp 84 miliar lebih untuk Program Bedah Rumah Tidak Layak Huni (Program Berarti) bagi ribuan keluarga miskin dalam wilayah kabupaten TTU. Ribuan rumah tersebut nantinya akan diperuntukkan bagi keluarga miskin yang tersebar di 23 kecamatan dan 65 desa atau kelurahan di TTU.

Pelaksanaan Program Berarti di tahap I, berjalan di 25 desa menggunakan anggaran sebesar Rp29 miliar, sedangkan 40 desa dipending lantaran sebanyak Rp 55 Milyar lebih anggarannya dialihkan ke penanganan Covid 19 secara sepihak, tanpa sepengetahuan Lembaga DPRD TTU. Tertundanya pelaksanaan Program Berarti di tengah Pandemi Covid 19, mendatangkan aksi protes masyarakat penerima bantuan lantaran rumah mereka sudah terlanjur dibongkar. Hal tersebut diakui beberapa Kepala Desa dan Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola (KMPS).

Baca juga : Proyek Bedah Rumah TTU Rp29 M Menuai Masalah, Pengurus Ajukan Pengunduran Diri

Pada Agustus 2020 lalu, Program Berarti kembali dilaksanakan di 40 desa tertunda. Sayangnya, pada tahap pertama, yang diperuntukkan bagi 25 desa di Kabupaten TTU, belum ada yang rampung dikerjakan.

Pelaksanaan Program Berarti tahap II pun menuai banyak masalah. Tidak jauh berbeda dari penderitaan yang dialami para penerima manfaat terdahulu. Pada pelaksanaan di tahap pertama, masyarakat menerima bahan bangunan tidak layak pakai. Batako hancur dan sejumlah bahan bangunan yang kurang bermutu. Bahkan pungli terhadap masyarakat penerima bantuan kerap terjadi dengan berbagai dalil, diantaranya untuk memperlancar pembangunan rumah dan biaya operasional yang dibebankan ke masyarakat kecil.

Hingga berita ini diturunkan, Kepala Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Pemukiman dan Pertanahan (PRKPP), Antonius Kapitan belum berhasil dikonfirmasi.