Kisah Transpuan Kupang Pemilik Salon Terdampak Corona Tapi Tak Tersentuh Bansos
Laporan Adi Rianghepat
Kupang, NTTOnlinenow.com – Sepi dan tak ada pengunjung, begitulah suasana salon milik Chantika pada siang itu. Salon yang juga bernama Chantika itu baru saja dibuka lagi pada Senin, 15 Juni lalu seiring dengan pemberlakuan era baru atau new normal di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Ya, baru dibuka lagi pada Senin kemarin,” kata Chantika saat siang itu.
Hampir tiga bulan, kata Chantika yang adalah transpuan ini, menutup salonnya karena kebijakan dan aturan pemerintah. “Kami (pemilik salon) kan diminta di rumah saja dan jangan beraktivitas di luar rumah. Salon kami pun harus tutup,” katanya. Namun apalah jadinya, selama tiga bulan tak beraktivitas. Bahkan karena kebijakan pandemi tersebut, tak ada lagi acara atau seremoni pesta. “Praktis tak ada sepeser pun pemasukan,” keluhnya.
Mie instan, akhirnya menjadi pilihan makanannya hampir saban hari, karena sudah tak mampu lagi. Sedih nian kondisi Chantika selama tiga bulan tak beraktivitas. Meskipun demikian kondisinya, Chantika juga seluruh teman-teman transpuan lainnya yang memiliki salon, paham. “Kami (transpuan) maklum kok dengan kondisi ini. Kami harus ikuti peraturan yang ada untuk tidak membuka salon,” katanya.
Chantika terlihat tenang. Sambil menarik dalam rokok yang dihispanya, Chantika lalu mengatakan, sedikit bergairah ketika dalam sejumlah pemberitaan terdapat kebijakan pemerintah untuk membantu sejumlah usaha kecil yang terdampak Covid-19. Tidak hanya di level daerah (kota/kabupaen) tetapi provinsi dan pusat. Ada asa dia dan para transpuan Kota Kupang bisa mendapatkan intervensi bantuan dari kebijakan tersebut. Namun apa yang dialami mereka. “Kami tak tersentuh sedikitpun oleh bantuan apapun. bantuan langsung tunai yang kami harap tak kami peroleh,” ucapnya terbatah.
Namun begitu, dia tetap tak pernah mau ribut. Bersama seluruh rekannya yang tergabung dalam kelompok transpuan, mereka pun mengajukan permohonan permintaan dana bantuan bagi kelanjutan hidup meraka ke dinas sosial kota dan provinsi. Pun nihil hasilnya.
Dia pun bertanya, siapakah yang dimaksud terdampak covid? “Mengapa kami transpuan pemilik salon tak menjadi sasaran penerima bantuan? dalam ketidak pastian hatinya yang perih, Chantika berkata lagi, “apakah karena kami adalah transpuan sehingga kami menjadi warga kelas dua?”
Memerah bola mata Chantika terlihat, seolah menahan sedih dan sakitnya hati diperlakukan semena-mena pemerintah. Di titik itu, Chantika hanya berharap terjadinya perubahan cara pikir pemerintah pun masyarakat terkait keberadaan dia dan kelompok transpuan.
“Kami sama seperti kalian. Kami punya hak dan kedudukan yang sama dalam hukum dan keadilan. Kami jangan diperlakukan berbeda seolah kami warga kelas dua. Jadi kami mohon diperlakukan adil,” ungkap Chantika mengakhiri obrolan singkat kami.***