Masalah Migran Perantau Perlu Penanganan Serius Secara Bersama

Bagikan Artikel ini

Laporan Yansen Bau
Atambua, NTTOnlinenow.com – Provinsi Gereja Nusa Tenggara (Nusra) menyelenggarakan kegiatan pertemuan Pastoral (Perpas) ke XI di Keuskupan Atambua, Kabupaten Belu, Timor Barat wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste.

Kegiatan di Atambua akan berlangsung selama enam hari terhitung pembukaan Senin 22 Juli kemarin hingga 27 Juli 2019 mendatang yang dihadiri tujuh (7) Uskup dari 8 Keuskupan Regio Nusra.

Adapun para Uskup diantaranya, Mgr. Dominikus Saku, Pr dari Keuskupan Atambua, Mgr. Petrus Turang, Pr dari Keuskupan Agung Kupang, Mgr. Vincentius Sensi Poto Kota dari Keuskupan Agung Ende, Mgr. Edwaldus M. Sedu dari Keuskupan Maumere, Mgr. Edmundo Woga, CSsR dari Keuskupan Weetabula, RD. Alfons Segar (Vikjen) dari Keuskupan Ruteng, Mgr. Silvester San dari Keuskupan Denpasar, Mgr. Frans Kopong Kung dari Keuskupan Larantuka.

Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku, Pr disela-sela kegiatan, Rabu (24/7) mengatakan, kegiatan Perpas ke-XI yang digelar Provinsi Nusra mengangkat tema gereja nusa tenggara peduli migran perantau.

Disebutkan, dari proses dan pembahasan-pembahasan yang terjadi pembicaraan mengerucut pada beberapa point diantaranya, kesalahan migran perantau perlu diatasi secara bersama-sama. Diperlukan kolaborasi yang makin sinergis makin sinkron dan koordinatif antara gereja Pemerintah dan masyarakat.

“Dari Pemerintah diharapkan peran untuk regulasi dan fasilitasi karena Pemerintahlah yg mempunyai Tupoksi untik mengeluarkan aturan-aturan dalam menata kehidupan bersama sebagai bangsa dam negara,” ujar dia.

Jelas Uskup Dominikus, gereja bertugas untuk memberikan animasi terlebih melalui pembinaan-pembinaan iman supaya kehidupan umat selain tertata menurut kaidah-kaidah, norma dan etika kristiani.

“Terlebih supaya hormat terhadap martabat pribadi manusia hormat dan penghormatan terhadap umat manusia diutamakan lebih dari segala sesuatu,” sebut dia.

Point lainnya yakni, peran dari masyarakat supaya masyarakat mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang proses memajukan manusia. Terlebih karena isu migran perantau sering kali terjadi ditengah keluarga. Keluargalah yang menjadi biang kerok atau sebab dari terjadinya migran migrasi dan perantauan.

Menurut dia, banyak sekali faktor yang terjadi disana, ketidaktahuan kemiskinan ketidakberdayaan bahkan sering kesembrawutan dalam kehidupan membuat orang sebagai anggota keluarga tidak berpikir secara sistematis, tidak berpikir secara komprehensif tetapi mengambil keputusan-keputusan secara ngawur.

“Sehingga mencelakakan hidupnya berdasarkan pikiran-pikiran dan keputusan-keputusan yang tidak diambil secara baik,” kata dia.

Lanjut Uskup Dominikus, kerjasama yang diharapkan dari kegiatan ini adalah, supaya gereja, Pemerintah dan masyarakat bisa masuk di lahan yang sama.

“Lahan yang disepakati untuk dimasuki bersama adalah lahan pemberdayaan ekonomi,” terang dia.

Dituturkan, kami para Uskup mengharapkan supaya para kelompok-kelompok umat basis mulai bergerak untuk menjadi benteng pertahanan mencegah migran dan perantau yang tidak prosedural, tidak membawa surat-surat, tidak membawa dokumen bahkan ada yang pergi ke malaysia tidak mempunyai paspor, tidak mempunyai visa.

“Dan ini mereka gampang untuk dijadikan sebagai objek jual beli manusia di dunia penuh kekejaman, penuh dengan segala macam manipulasi dan disanalah harga pribadi manusia tidak dihargai secara cukup,” tegas Uskup Dominikus.