Sinode GMIT Bahas SK Gubernur Tentang Moratorium Pengiriman PMI Asal NTT
Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) melalui satuan tugas Rumah Harapan GMIT menggelar diskusi terbatas membahas terkait Surat Keputusan (SK) Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Nomor: 357/ KEP/ HK/ 2018 Tentang Penghentian Pemberangkatan Calon Pekerja Migran Indonesia (PMI)/ Pekerja Migran Indonesia Asal Provinsi NTT.
Diskusi terbatas yang digelar di Kantor Sinode GMIT, Senin (25/3/2019), dipandu oleh Silvia Fanggidae dan menghadirkan tiga narasumber, yakni Sekretaris Dinas Koperasi, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kopnakertrans) Provinsi NTT, Untung Sudrajad, Akademisi dari Fakultas Hukum Undana, Deddy Manafe dan Anggota DPRD Kabupaten TTU, Maria F. Tahu.
Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Mery Kolimon dalam sambutannya mengatakan, kasus meninggalnya PMI asal NTT di luar negeri terus meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, GMIT memandang perlu untuk menggelar diskusi terkait SK Gubernur NTT dimaksud, guna mencari solusi terkait masalah tindak pidana perdagangan orang yang marak di daerah itu.
“Majelis Sinode GMIT mendapat amanat dari sidang sinode ke-33 di Kabupaten Rote Ndao, untuk menjadikan masalah perdagangan orang sebagai perhatian gereja, dalam teologi dan pelayanannya. Karena kami menyadari bahwa konteks dimana GMIT melayani adalah konteks yang sangat rentan terhadap tindak pidana perdagangan orang,” ungkap Pdt. Mery.
Menurut Pdt. Mery, dalam pelayanannya Rumah Harapan GMIT memandang bahwa SK Gubernur NTT tentang moratorium calon PMI/ PMI adalah sesuatu yang penting. Hal ini sebagai bentuk keseriusan Pemda NTT untuk melihat kedaruratan masalah perdagangan orang di daerah ini.
“Kalau 105 jenazah PMI pulang di 2018, itu tidak bisa dianggap biasa-biasa saja, ada sesuatu yang serius terjadi, karena itu kita perlu mencegah supaya hal seperti ini tidak berkelanjutan. Kami sedikit prihatin bahwa angka ini setiap tahun naik atau meningkat dari 60 di 2016, 80 di 2017 dan terakhir tahun 2018 sebanyak 105 jenazah,” sebutnya.
“Bagaimana caranya supaya kita tidak menjadi provinsi yang memanen jenazah. Kecenderungan pada tahun ini, hampir tiap hari para suster, frater, pastor, pendeta dan kawan-kawan yang peduli dengan isu ini, hampir setiap hari ada di kargo Bandara El Tari untuk menerima jenazah-jenazah yang kembali,” imbuhnya.
Dia berargumen, satu hingga dua tahun ke depan mungkin keadaan ini belum banyak berubah, tetapi semua komponen harus dan perlu mencari solusi agar angka-angka tersebut bisa ditekan. GMIT memandang bahwa moratorium PMI adalah salah satu dari upaya pemerintah sebagai tanda keberpihakan atau kepedulian terhadap masalah tersebut.
“Tapi kami juga bertanya sebagai gereja, setelah moratorium apa yang harus kita lakukan, dan itu sebabnya diskusi ini perlu dilaksanakan. Kami ingin belajar dari Dinas Nakertrans, hal-hal yang sedang dipikirkan dan yang hendak dilakukan untuk memastikan migrasi kerja yang aman,” katanya.
Pdt. Mery menambahkan, pihaknya juga melihat salah satu tantangan yang dihadapi adalah terkait sinergitas dalam penanganan persoalan dimaksud. Mungkin masing-masing unsur baik pemerintah maupun elemen masyarakat sipil telah melakukan upaya terbaik, namun jika bisa dilakukan secara bersama-sama maka akan lebih efektif dan menghasilkan dampak positif.
“Kami juga mengundang teman-teman akademisi untuk menolong kami, bagaimana dari segi hukum kita memahaminya. Selain itu kawan-kawan yang aktif bekerja di isu ini, para suster, para pastor, pendeta, LSM, DPRD sebagai wakil rakyat yang mesti membuat kebijakan penganggaran dan pengawasan terkait masalah ini,” tandasnya.
Sekretaris Dinas Kopnakertrans Provinsi NTT, Untung Sudrajad menyampaikan, angka pemulangan jenazah PMI asal NTT baik yang prosedural maupun non prosedural cukup tinggi. Tetapi lebih didominasi oleh PMI non prosedural.
Tahun 2016 sebanyak 46 Jenazah (4 Legal, 42 Ilegal), tahun 2017 sebanyak 62 Jenazah (1 Legal, 61 Ilegal), tahun 2018 sebanyak 105 Jenazah (3 Legal, 102 Ilegal) dan sampai dengan bulan Maret 2019 sebanyak 30 Jenazah (1 legal, 29 Ilegal).
“Mencermati data diatas, bahwa kasus meninggal di tanah rantau lebih sering dialami oleh mereka yang berangkat secara non prosedural atau ilegal,” ungkap Untung.
Menurut Untung, hal ini kemungkinan disebabkan karena banyak hal, antara lain adalah karena mereka yang berangkat secara non prosedural/ ilegal cenderung berangkat tanpa melalui cek kesehatan, tanpa penguasaan kompetensi kerja yang memadai, digaji dibawah standar bekerja di lingkungan kerja yang tidak sehat, tanpa jaminan kesehatan dan keselamatan kerja dan lain sebagainya.
“Belum lagi ancaman dari petugas keamanan negara tujuan bagi PMI non prosedural atau ilegal membuat suasana psikologis kurang nyaman dan selalu dalam kondisi merasa terancam,” katanya.
Dia menjelaskan, makna penetapan SK Gubernur NTT Nomor: 357/ KEP/ HK/ 2018 Tentang Penghentian Pemberangkatan Calon Pekerja Migran Indonesia (PMI)/ Pekerja Migran Indonesia Asal Provinsi NTT, sebagai bentuk perlawanan Pemerintah dan masyarakat NTT terhadap para pelaku tindak pidana perdagangan orang.
“Selain itu sebagai langkah pembenahan secara menyeluruh terhadap sistem dan tata kelola pelayanan penempatan calon PMI agar menjadi lebih baik dan terintegrasi mulai dari hulu sampai ke hilir guna meningkatkan kualitas calon PMI dan memberikan perlindungan serta jaminan kepastian kerja serta pemenuhan hak-haknya di luar negeri,” terang Untung.