Pemkab Sabu Raijua Mulai Tanam Lontar Hibrida Hasil Rekayasa Genetika
Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sabu Raijua bertekad mengembangkan atau membudidayakan tanaman lontar hibrida hasil rekayasa genetika. Penanaman perdana lontar hibrida ini dilakukan, Senin (10/2/2019) di daerah itu.
Bupati Sabu Raijua, Nikodemus Rihi Heke sampaikan ini kepada wartawan di Kupang, Kamis (14/2/2019).
Menurut Rihi Heke, untuk pengembangan lontar hibrida penghasil nira ini, pihaknya bekerja sama dengan Balai Penelitian Tanaman Palem (Balit Palma) Manado. Untuk menghasilkan bibit lontar hibrida ini, terlebih dahulu dilakukan penelitian, untuk kemudian membuat rekayasa genetika.
“Proses pengembangan ini sudah kami lakukan saat masa kepemimpinan pak Marthen Dira Tome. Dari proses rekayasa genetika atau kawin silang, menghasilkan 300 bibit yang disemaikan, lalu yang tumbuh sekitar 30 persen lebih anakan lontar hibrida dan sudah kami tanam,” ungkap Rihi Heke.
Penanaman perdana itu dilakukan di atas lahan seluas 15 hektare yang juga merupakan lokasi untuk hijauan makanan ternak (HMT) di Desa Menia, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dia menjelaskan, menyadap nira dari pohon lontar merupakan sebuah budaya warisan nenek moyang orang Sabu Raijua. Laki-laki Sabu Raijua pasti tahu caranya dan bisa menyadap nira dari pohon lontar.
“Budaya kita beda dengan yang lain. Orang Sabu Raijua punya budaya minum, bukan budaya makan. Kalau di Sabu, orang minum gula sabu di pagi hari, maka sore baru dia akan merasa lapar. Karena itu, orang Sabu menyebutnya dengan makan gula dan minum tuak,” terangnya.
Pohon lontar pada umumnya dan secara khusus yang ada di Sabu Raijua itu, tumbuh menjulang tinggi seperti pohon kelapa. Karena itu, pohon ini hanya bisa dipanjat kaum lelaki untuk menyadap airnya. Selain itu, banyak orang yang jatuh dari pohon itu dan meninggal.
Orang Sabu Raijua, lanjut dia, menggantungkan harapan hidupnya pada pohon lontar ini. Karena itu mereka tidak akan mungkin meninggalkan pekerjaan menyadap nira. Hasil dari nira itu sangat menolong mereka, karena bisa diolah menjadi komoditas bernilai ekonomi.
“Karena itu, kami berpikir bagaimana caranya untuk bisa melakukan rekayasa genetika agar menjadikan pohon lontar ini tumbuh lebih pendek,” jelasnya.
Rihi Heke menyebut pohon lontar hibrida yang dikembangkan tersebut, akan tumbuh mencapai hanya 2 hingga 3 meter. Selain itu, hanya butuh waktu sekitar 3 sampai 4 tahun paling lambat untuk bisa disadap.
“Dibandingkan dengan lontar yang alami, membutuhkan waktu sekitar 6 sampai 7 tahun baru bisa disadap. Itu pun pohonnya sudah sangat tinggi,” sebutnya.
Dia menambahkan, lontar hibrida ini nantinya bisa disadap siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan atau bahkan anak-anak, karena pohon ini hanya akan tumbuh paling tinggi 2 sampai 3 meter saja. Tentu nira dari lontar hibrida ini nantinya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Sabu Raijua sebagai komoditas unggulan demi kemajuan ekonomi masyarakat di daerah itu.
Masyarakat Sabu Raijua menyadap nira lontar kemudian diolah menjadi gula cair dan gula semut. Untuk menyadap nira, penyadap harus memanjat pohon lontar pada pagi dan sore hari.
Akhir-akhir ini produktivitas lontar menurun, karena tenaga muda tidak tertarik menjadi penyadap nira lontar dengan alasan pohon lontar tinggi. Memanjat pohon lontar yang tinggi sangat beresiko jatuh.
“Selain itu umur lontar mulai berbunga cukup lama. Karena itu lontar yang berukuran batang pendek dan lebih cepat berbunga menjadi harapan masyarakat Sabu Raijua untuk mengatasi masalah yang dihadapi saat ini,” tandas Bupati Nikodemus Rihi Heke.