Politisasi “Moral” Terhadap Marianus Sae Melebihi Vonis Pengadilan
Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Politisasi dan kriminalisasi kasus moral atau susila yang selama ini dialamatkan kepada Marianus Sae, sungguh jauh lebih kejam bahkan telah melebihi vonis hakim atas perbuatan yang dituduhkan.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus sampaikan ini dalam keterangan persnya yang diterima media ini, Senin (22/1/2018).
Menurut Petrus, kriminalisasi ini kejam dan melebihi vonis hakim karena hingga saat ini tidak ada bukti pengaduan dari korban sebagai syarat mutlak pengungkapan kasus pidana susila dan tidak adanya proses hukum terlebih-lebih tidak adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan Marianus Sae bersalah.
“Kasus moral adalah kasus yang sangat bersifat privat, bukan saja bagi pihak korban akan tetapi juga bagi pihak pelaku, sebagaimana Hukum Pidana sendiri mensyaratkan penuntutannya harus atas dasar pengaduan langsung dari pihak korban,” kata Petrus.
Advokat Peradi ini menyatakan, meskipun kualifikasi kasus yang dituduhkan langsung kepada pribadi Marianus Sae adalah soal moral yang merupakan hak privat dan menjadi delik aduan, akan tetapi tuduhan atas kasus itu selalu muncul dari pihak ketiga yang tidak berkepentingan.
Sementara pihak yang langsung menjadi korbannya, tidak pernah muncul dan menuntut pertanggungjawaban secara pidana melalui sebuah proses hukum sesuai dengan KUHAP. Kenyataannya hingga sekarang tidak pernah ada pengaduan dari pihak korban ke kepolisian maupun ke lembaga adat atau Gereja Katolik karena menyangkut persoalan moral seorang pemimpin di wilayah hukum yang mayoritas umatnya Katolik.
“Sepanjang dan selama tidak adanya pengaduan langsung dari pihak yang merasa dirinya sebagai korban, apalagi tuduhan yang muncul sejak tahun 2013 tidak pernah datang dari pihak korbannya, hal demikian harus dianggap tidak pernah ada karena memang tidak ada tuntutan dari korban,” tandas Petrus.
Dia berargumen, jika ada pihak yang menginginkan hal itu terverifikasi dan terklarifikasi, maka lembaga yang berwenang memverifikasi adalah KPU dan parpol yang mengusung serta masyarakat pemilih yang menentukan sendiri di bilik suara TPS saat Pilgub tiba. Bukan di ruang demo, ruang media masa, media sosial dan bukan pula di ruang diskusi publik.
Petrus menyatakan, kasus moral yang dituduhkan kepada Marianus Sae, dibuat antara ada dan tiada. Yang muncul hanya kalau seorang Marianus Sae tampil sebagai calon bupati pada 2015 dan sekarang muncul lagi karena menjadi calon Gubernur NTT 2018.
Dengan demikian, lanjut Petrus, pihak ketiga yang mempersoalkan kasus yang disebut sebagai kasus “moral” sekiranya ada quod non. Sesungguhnya mereka tidak memiliki “legal standing” dan “kepentingan langsung” untuk membonceng kasus yang sangat privat ke dalam domain publik.
“Kasus moral hanya bisa dibawa ke ruang publik bahkan dieksploitasi untuk kepentingan lain di luar kepentingan penegakan hukum, manakala kasus yang disebut kasus moral dimaksud telah kehilangan sifat privat dan sifatnya sebagai delik aduan,” terang Petrus.
Dia berpendapat, segelintir orang telah mengatasnamakan dan mengeksploitasi kepentingan publik untuk menyerang hak privat Marianus Sae. Mereka lupa bahwa tidak semua persoalan hukum pidana seseorang masuk ke wilayah publik dan menjadi urusan publik, sekalipun itu persoalan menyangkut moralitas seseorang sebagai sendi utama dalam hukum.
Karena, menurut dia, ilmu hukum dan hukum pidana sendiri membatasi dengan menempatkannya hanya menjadi wilayah privat antara pelaku dan korban serta dikualifikasi sebagai delik aduan. Dia baru bisa menjadi komsumsi publik di ruang publik, apabila telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan Marianus Sae terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.