TPDI Nilai Pemberantasan Human Trafficking Tidak Serius

Bagikan Artikel ini

Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (Human Trafficking) di berbagai tempat di Indonesia, seperti hangat-hangat tahi ayam, hanya muncul sejenak ke permukaan tetapi kemudian hilang. Ini menunjukkan tidak ada tingkat keseriusan untuk menangani persoalan tersebut, baik oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus sampaikan ini dalam keterangan persnya yang diterima media ini, Jumat (2/9/2016).

Menurut Petrus, prestasi kerja penanganan human trafficking yang diharapkan tidak kunjung datang, tidak ada evaluasi, tidak ada sanksi bagi pejabat yang gagal. Selain itu, tidak ada pertanggungjawaban publik. Semuanya berjalan seakan- akan tidak terjadi apa-apa. Buktinya, rata- rata para pejabat terkait dan  perwira polisi di NTT dan di tempat- tempat lain yang rawan kejahatan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tetap mendapat promosi sekaligus pindah ke pos baru di daerah lain.

Petrus menyatakan, tindak pidana human trafficking di NTT, semakin menantang dan bermetamorfosa tanpa hambatan, seolah- olah negara ini tidak ada hukum dan tidak ada penegak hukum. “Agen, Jaringan dan sel- sel jaringan tidak pernah terputus atau berhenti bekerja dari waktu ke waktu seperti sedang menantang kebijakan negara, perintah Presiden Jokowi dan perintah Kapolri Jenderal Tito Karnavian,” tandas Petrus.

Advokat Peradi ini menyatakan, meski kejahatan TPPO di NTT telah dinyatakan sebagai “darurat human trafficking” karena semakin menantang dan bermetamorfosa, namun Gubernur NTT, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Hukum dan HAM (Imigrasi), Polda, dan Kejaksaan NTT justeru tenang-tenang saja. Hal ini terlebih- lebih di tengah sorotan publik bahwa oknum aparat pemerintah dan penegak hukum diduga keras ikut menjadi bagian di dalam kejahatan human trafficking.

Lebih lanjut Petrus sampaikan, sejumlah oknum pejabat di Provinsi NTT misalnya Gubernur Frans Lebu Raya seolah- olah menutup mata terhadap predikat NTT sebagai Provinsi terbanyak nomor satu di Indonesia bahkan berada dalam kategori “darurat human trafficking”. Kejahatan human trafficking melibatkan banyak aparat mulai dari Kepala Desa, Camat, Gubernur, Disnakertrans, pihak Bandara, Imigrasi, Kejaksaan, dan Polri.

“Ironisnya, ketika ada kasus human trafficking yang terungkap dan mengindikasikan keterlibatan aparat pemerintah, maka aparat pemerintah pada instansi- instansi  dimaksud justeru bersikap seolah- olah tidak terjadi sesuatu dan ujung- ujungnya kebodohan dan kemiskinan orang NTT dijadikan kambing hitam,” papar Petrus.

Dia menjelaskan, upaya antisipatif untuk mencegah dan memberantas TPPO telah dilakukan dengan melahirkan UU No. 21 Tahun 2007, tentang TPPO. Banyak gagasan dengan menempatkan aparat pemerintah dan  penegak hukum di sektor- sektor yang menjadi pintu masuk para pelaku TPPO, namun semuanya tidak berjalan dengan baik.

Pemerintah daerah acuh tak acuh, Polda NTT sebagai ujung tombak dari upaya pengayoman dan penegakan hukum guna menjamin masyarakat yang tertib dan damai tidak maksimal menjalankan fungsi utamanya. Bila dicermati rumusan unsur- unsur pidana dalam TPPO, sebenarnya tidak sulit membongkar jaringan, sel- sel jaringan dan agen-agen dalam kejahatan TPPO.

Dengan demikian, tambah Petrus, kalau satu saja oknum pejabat pada instansi pemerintah membuka mulut bahwa ada aktivitas TPPO yang sedang terjadi dan menginformasikan kepada polri dan ditindaklanjuti, maka tidaklah sulit memberantas mafia TPPO di negeri ini.

Karena itu Presiden Jokowi, Menko Polhukam RI, Kapolri, Jaksa Agung, Menkum-Ham, Menlu, Menaker dan BNP2TKI harus duduk sama- sama memperbaiki kondisi penegakan hukum, dan pelayanan publik agar kejahatan TPPO dapat diminimalisasi dan diakhiri.