Potensi dan Prospek Pengembangan Jagung Dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Peningkatan Ekonomi di NTT

Bagikan Artikel ini

Oleh : Marcelina Christin Edon
Peluang
Jagung merupakan salah satu komoditi penting di Indonesia ditinjau dari aspek pengusahaan dan pemanfaatan hasilnya yakni sebagai bahan pangan dan pakan ternak. Sejalan dengan bertambahnya penduduk dan industri pakan ternak, kebutuhan jagung nasional terus meningkat sehingga harus dilakukan impor terutama dari Amerika. Namun demikian, dengan semakin maraknya pengunaan jagung sebagai bioenergi di negara produsen utama tersebut, suatu saat persediaan jagung Indonesia akan terancam sehingga tentunya dapat berdampak buruk pada sektor ekonomi lainnya. Oleh karena itu, kemandirian Indonesia dalam memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri sudah harus dimulai yakni dengan peningkatan produksinya melalui pemanfaatan potensi-potensi yang ada secara optimal.

Di provinsi NTT sendiri, jagung merupakan salah satu komoditi unggulan yang tujuan utama pengusahaannya juga untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pakan ternak sekaligus menyokong perekonomian petani. Tabel Input Output NTT 2016 mencatat kontribusi nilai tambah komoditi ini terhadap total nilai tambah ekonomi NTT sekitar 4 persen, sehingga menjadikannya penyumbang tertinggi ketiga setelah sektor pemerintahan dan perdagangan yang masing-masing berkontribusi sekitar 11 dan 10 persen.

Jika dilihat dari besaran produksi jagung, pada tahun 2023 secara nasional NTT menduduki peringkat ke sebelas . Rata-rata produksi khususnya sejak tahun 2020 hingga 2024 telah mencapai 277.84 ribu ton. Namun demikian di antara provinsiprovinsi sentra tersebut, produktifitas jagung NTT merupakan yang terendah dengan rata-rata 26 kw/ha sementara provinsi lainnya telah mencapai di atas 26 kw/ha hingga 63 kw/ha. Hingga saat ini, jagung yang diproduksi oleh petani jagung di NTT sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan lokal untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat dan sebagai pakan ternak sehingga kontribusinya belum bisa bersaing terhadap pasokan jagung nasional jika dibandingkan dengan provinsiprovnsi sentra seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan

Potensi
Pengembangan usaha tani jagung di NTT untuk menjaga ketahanan pangan lokal serta mendukung kebutuhan jagung nasional dan sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat masih sangat prospektif. Hal ini dilihat dari potensi lahan kering yang luas dan peluang pangsa pasar lokal dan nasional yang masih terbuka. Hingga tahun 2024, NTT memiliki lahan kering seluas 914.692 ha sedangkan yang sudah dimanfaatkan untuk usaha tani jagung baru 30,67 persen sehingga masih sangat memungkinkan untuk dilakukannya upaya ekstensifikasi. Sementara secara ekonomi, pangsa pasar nasional masih sangat membutuhkan pasokan jagung dari daerah-daerah khususnya sentra jagung seperti NTT.

Disamping itu, pengembangan jagung di NTT juga sangat didukung oleh kultur sosial sebagian besar masyarakat yang telah terbiasa menanam jagung ditunjukkan dengan tingginya jumlah rumah tangga tani jagung yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota di provinsi ini. Pada tahun 2023, tercatat sebanyak 404 ribu rumah tangga yang melakukan penanaman jagung atau 33.25 persen dari total rumah tangga yang ada di NTT. Timor Tengah Selatan merupakan kabupaten dengan jumlah rumah tangga petani jagung terbanyak yakni 22.81 persen dari total rumah tangga jagung NTT, disusul Sumba Barat Daya dan Timor Tengah Utara yang masing-masing sebesar 10.50 persen dan 8.82 persen. Hampir sama dengan sebaran jumlah rumah tangga usaha tani jagung, produksi dan luas panen jagung tertinggi terdapat di kabupaten TTS, Sumba Barat Daya dan Malaka dengan rata-rata hasil 1.11 ton pipilan kering dari ratarata luas panen 0.47 ha per rumah tangga.

Tantangan
Pada tahun 2023, produksi jagung NTT 648.30 ribu ton dengan luas panen yang cukup tinggi 259.94 ribu hektar. Namun, produkvitas tanaman jagung di provinsi NTT sangat rendah yaitu hanya 26 kw/ha atau terendah di tingkat nasional. Hal ini disebabkan antara lain adalah :

Dari sisi pengusahaan, jagung di NTT secara umum masih dikelola dalam skala kecil (subsisten) dan belum berorientasi agribisnis atau masih bertujuan terutama hanya untuk memenuhi kecukupan pangan saja. Tercatat hingga saat ini lebih dari 80 persen produksi jagung digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sementara sekitar enam persen dimanfaatkan untuk pakan ternak dan satu persen disisihkan untuk benih pada penanaman berikutnya.

Penggunaan benih lokal masih sangat mendominasi yakni digunakan oleh sekitar 90 persen rumah tangga tani NTT, meskipun pemerintah saat ini telah menggalakkan penggunaan benih unggul seperti hibrida. Hal ini terutama karena jagung dari benih lokal tersebut lebih tahan terhadap hama gudang sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Sementara, daya simpan jagung varietas unggul baik komposit maupun hibrida jauh lebih singkat karena mudah terserang hama penyimpanan. Di samping itu pendistribusian benih jagung bantuan pemerintah sering kali tidak tepat waktu sehingga petani tidak dapat memanfaatkannya pada saat musim tanam.

Selain benih, penggunaan pupuk pada penanaman jagung di seluruh NTT juga masih sangat rendah. Hanya sekitar 14 persen dari total rumah tangga jagung.

Ditinjau dari segi permodalan, sebagian besar rumah tangga jagung menggunakan modal sendiri dalam menjalankan usahanya dan hanya 19.20 persen yang pernah menggunakan jasa peminjaman seperti bank, koperasi, perorangan, dan peminjaman lainnya. Disamping kurang memadainya permodalan yang mendukung pengembangan usaha pertanian jagung di NTT, sebagian besar petani jagung juga belum pernah mendapat bantuan pengembangan usaha dimana masih hanya 12.48 persen usaha yang pernah didukung oleh bantuan dalam bentuk benih, pupuk, pestisida, alsintan, bunga kredit dan bantuan lainnya.

Dengan adanya berbagai tantangan tersebut, usaha tani jagung di NTT belum mampu meningkatkan pendapatan petani dan perekonomian NTT secara signifikan. Dengan demikian, suatu terobosan tentunya dibutuhkan untuk mengakselerasi produktifitas tanaman jagung sehingga mampu bersaing dengan jagung dari provinsi lainnya baik dari segi kuantitas, kualitas dan harga. Dengan demikian, meskipun prioritas usaha tani jagung di NTT masih ditujukan untuk menjaga ketahanan pangan, tetapi mengingat potensi-potensi dan peluang yang ada sudah selayaknya produktifitas tanaman jagung di NTT dapat ditingkatkan untuk mendukung peningkatan pendapatan petani jagung yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian NTT secara keseluruhan.

Secara umum, beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan usaha tani jagung adalah ketersediaan sumber daya alam seperti luas lahan, iklim, air, teknologi, karakteristik masyarakat setempat, pemerintah daerah sebagai regulator, dan mitra usaha baik investor swasta maupun pemerintah dalam penyediaan sarana produksi dan penyerapan hasil dengan harga yang layak.

Beberapa usaha telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dengan pemberian bantuan dalam bentuk benih, modal dan penyuluhan. Namun, intervensi pemerintah dalam menciptakan atau mencari pangsa pasar untuk jagung NTT baik lokal maupun pasar ekspor masih sangat dibutuhkan.

Pangsa pasar jagung NTT dapat disokong melalui misalnya pembangunan industri pakan ternak yang berbahan dasar jangung dan ikan. Dengan demikian jagung lokal dapat terserap dan juga dapat menyerap produksi ikan yang jumlahnya cukup banyak di beberapa daerah di NTT. Seperti diketahui bahwa industri merupakan salah satu aktifitas ekonomi yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dengan daya serap tenaga kerja yang tinggi, sehingga dengan adanya industri seperti industri pakan ternak di provinsi ini akan berdampak positif tidak hanya pada sektor pertanian namun juga terhadap sektor industri yang mana peranannya terhadap total nilai tambah ekonomi NTT masih hanya sekitar dua persen.

Namun demikian beberapa faktor menjadi tantangan besar dalam usaha pembangunan industri pakan ternak ini, dimana salah satu dan yang terutama adalah kekhawatiran akan ketidakmampuan petani dan nelayan NTT dalam menyediakan bahan baku industri tersebut yang dalam hal ini adalah jagung dan ikan. Ketersediaan kedua komoditas masih musiman dan sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dan ketersediaan air yang menjadi masalah utama di provinsi ini, sementara untuk menghasilkan produk dengan harga jual yang kompetitif, produksi harus dilakukan dalam skala besar agar penggunaan input dapat lebih efisien.

Berbagai strategi, penemuan serta pengaplikasian teknologi tentunya diperlukan untuk mengatasi tantangan yang ada mengingat keberadaan industri seperti ini memberikan keuntungan ekonomi yang sangat luas dan signifikan dimana selain menyerap input lokal (jagung dan ikan) dan tenaga kerja, produknya dapat dipasarkan secara lokal kepada peternak lokal dengan harga yang lebih murah daripada pakan ternak impor. Sehingga selanjutnya dengan tersedianya pakan ternak dengan harga yang terjangkau oleh peternak, usaha peternakan juga dapat lebih dikembangkan misalnya dengan pendirian peternakan unggas berskala besar yang kemudian hasilnya seperti telur tidak harus lagi diimpor dari luar NTT.

Singkatnya, NTT merupakan provinsi sentra jagung nasional yang masih berprospek untuk meningkatkan produktiftas jagungnya sehingga mampu mencapai ketahanan pangan lokal dan meningkatkan kontribusinya dalam pemenuhan kebutuhan jagung nasional. Namun berbagai faktor menjadi tantangan dalam mewujudkan tujuan ini, seperti iklim dan ketersediaan air yang kurang memadai. Untuk itu komitmen dan strategi dari berbagai pihak terkait sangat dibutuhkan sehingga pada akhirnya ketahanan pangan serta peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.