RESTORATIVE JUSTICE BUKAN PENGHENTIAN PERKARA

Bagikan Artikel ini

Oleh: Dr. Nicholay Aprilindo

Bahwa suatu proses hukum melalui “RJ” atau ”Restorative Justice” bukan merupakan penghentian perkara, melainkan penyelesaian dengan bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan korban, karena kepentingan korban sebagai fokus utama.

Sebagian kalangan termasuk aparat penegak hukum ada yang memandang keadilan restoratif atau restorative justice merupakan perdamaian atau penghentian perkara. Padahal definisi restorative justice memiliki definisi yang boleh dibilang cukup luas dengan mengedepankan penyelesaian yang adil serta pemulihan kembali pada keadaan semula.

restorative justice ujungnya tidak pada tataran penghentian perkara.
Penerapan restorative justice bisa di lakukan di luar atau di dalam peradilan.
Menurutnya, paradigma pemidanaan sudah berubah, di mana korban perlu dilibatkan dalam meresolusi permasalahan yang timbul karena suatu tindak pidana dengan bantuan pihak ketiga yang adil dan imparsial.

Restorative justice tidak menghentikan perkara, pelaku tetap menjalani proses peradilan pidana tapi ada pemulihan bagi korban, masyarakat, dan pelaku, inti konteksnya karena hukum pidana menimbulkan luka maka keadilan harus memulihkan,”

Adapun dampak negatif dari keadilan restoratif :

1. Keadilan restoratif mengikis hak-hak hukum;
2. Keadilan restoratif berakibat pada pelebaran jaringan kejahatan ;
3. Keadilan restoratif meremehkan kejahatan (terutama kekerasan pria terhadap wanita);
4. keadilan restoratif gagal untuk “memulihkan” korban dan pelaku;
5. Keadilan restoratif gagal untuk melakukan perubahan nyata dan mencegah residivisme.

Pada prinsipnya beberapa kelemahan restorative justice adalah:

Tidak adanya standar praktik yang disetujui secara universal, sehingga prosesnya bisa tidak konsisten di berbagai yurisdiksi;

Bisa mengurangi kepercayaan pada keadilan dan esistensi dari sistem penegakan hukum;

Mengikis hak-hak hukum;

Meremehkan kejahatan terorganisir oleh seseorang dan sekelompok orang yang berlindung dibalik Restorative Justice;

Gagal untuk memulihkan korban dan pelaku;

Gagal untuk melakukan perubahan nyata dan mencegah residivisme;

Bahwa penerapannya tanpa diversi tidak memberikanm jaminan terhadap pemenuhan keadilan bagi korban;

Penanganan Kasus Tertentu
Tidak semua kasus kriminal cocok untuk Restorative Justice, pendekatan ini lebih sesuai untuk kasus-kasus dengan tingkat kejahatan yang lebih rendah, di mana pemulihan dan rekonsiliasi antara korban dan pelaku dianggap mungkin.

Kerjasama dengan Sistem Peradilan Pidana Konvensional
Restorative Justice dapat menjadi alternatif atau pelengkap dari sistem peradilan pidana tradisional. Dalam beberapa kasus, keputusan pengadilan dapat merujuk kasus ke proses restoratif atau menggabungkan elemen restoratif dalam hukuman yang ditetapkan.

Di mana Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.

Bahwa dalam kasus-kasus perampasan hak dengan menggunakan dokumen palsu dan atau jual beli terhadap sesuatu barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diketahuinya adalah bukan merupakan miliknya dengan menggunakan kwitansi dan/atau keterangan bohong, penipuan sebagai mata pencahariannya yang dilakukan secara berulang dan bersama-sama, tidaklah tepat dalam suatu proses hukum dilakukan “Restorative Justice”, karena hal tersebut dapat dikatakan “melegalisasi kejahatan”.

Bahwa konsep restoratif justice dalam pemidanaan pelaku tindak pidana bukan sama sekali menghilangkan sanksi pidana, melainkan lebih mengedepankan pemberian sanksi yang menekankan pada upaya pemulihan akibat kejahatan.

Bahwa upaya seseorang dan/atau sekelompok orang menempuh upaya “Restorative Justice” tidak jarang sebagai “modus” untuk menghindari pertanggung jawaban pidana.

Bahwa untuk menjadi pengetahuan bersama dalam upaya penegakan hukum yang berkeadilan guna memberikan kepastian dan kemanfaatan hukum.

Bahwa walaupun beberapa Peraturan membuka peluang untuk dilakukannya Restorative Justice, seperti Peraturan Kejaksaan R.I. Nomor 15 Tahun 2020, Peraturan POLRI Nomor 8 Tahun 2021, Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA RI. Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif, yang pada prinsipnya harus ada pertama, perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk tindak pidana narkoba, kedua, pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, kecuali untuk tindak pidaba narkoba,
Didalam Restorative Justice harus didahului adanya kesepakatan kedua belah pihak yaitu antara Pelapor dan Terlapor, tanpa adanya kesepakatan tersebut maka penyelesaian perkara menggunakan instrumen Restorative Justice tidak dapat dijalankan dan/atau dipaksakan.

Bahwa apabila syarat dan prasyarat didalam Restorative Justice tersebut tidak terpenuhi dan/atau tidak dapat dipenuhi, maka Restorative Justice tidak dapat menghentikan perkara.

Penulis adalah Praktisi hukum.