Kasus Teddy Minahasa, Akselerasi Reformasi Polri Mutlak Diperlukan
Laporan Frans Watu
Jakarta, NTTOnlinenow.com – Ketua SETARA Institute Hendardi menyoroti pertemuan Presiden Jokowi dengan 559 pejabat Polri dari unsur Mabes Polri, Polda dan Polres adalah agenda luar biasa yang menggambarkan kegeraman presiden atas kinerja institusi Polri menjalankan mandat konstitusionalnya menjaga keamanan, memberikan perlindungan dan pelayanan masyarakat dan menegakkan hukum. Pengarahan massal seperti ini tampaknya kali pertama terjadi bagi Polri di masa Jokowi. Pertemuan Presiden Jokowi dan sejumlah petinggi Polri berlangsung di Istana Negara, Jumat (14/10/22).
“Meskipun geram, Jokowi sesungguhnya masih sangat mempercayai Jenderal Listyo Sigit Prabowo mampu memimpin reformasi Polri,” tegas Hendardi.
Sama seperti banyak kementerian yang menghibur diri dan menghibur atasannya, yakni presiden, dengan menunjukkan kinerja melalui survei-survei kepuasan yang sangat generalis, bias dan tidak purposive kepada ahli yang menguasai isu terkait, institusi Polri juga terjebak dengan prosentase kepercayaan publik yang fluktuatif tanpa lebih dalam mendeteksi persoalan akut dan fundamental yang menuntut penyikapan holistik dan berkelanjutan. Akibatnya, secara terus menerus dan beruntun, berbagai persoalan di tubuh Polri menyeruak ke publik.
Setelah kasus Ferdy Sambo kontroversi konsorsium 303, kegagalan pencegahan potensi kerusahan di Kanjuruhan, kali ini kasus narkoba diduga menjerat petinggi Polri. Rangkaian peristiwa ini terus merusak kepercayaan publik dan semakin melemahkan kinerja Polri.
“Bukan hanya daya rusak internal yang mengoyak soliditas anggota dan pimpinan Polri tetapi juga daya rusak bagi publik karena keadilan yang terusik. Bahkan, karena peristiwa-peristiwa itu, berbagai kinerja Polri lainnya, juga diragukan profesionalitas dan imparsialitasnya oleh publik. Secara sistematis dan massif gugatan atas kinerja Polri terus bergulir, termasuk kinerja Polri dalam penanganan terorisme,” lanjut Hendardi.
Kelompok seperti eks- HTI dan FPI misalnya, terus menerus mempersoalkan kinerja Polri dan menyebarkan berbagai propaganda yang melemahkan institusi Polri yang saat ini menemukan momentumnya. Belum lagi dugaan perkubuan dalam tubuh Polri yang jika terus dibiarkan akan semakin melemahkan Polri.
Oleh karena itu, sebagaimana pesan Jokowi dalam pengarahan hari ini ke pimpinan Polri, bahwa Polri harus solid dan harus tampil percaya diri (karena) kalau terlihat ragu dan tidak tegas justru akan semakin menurunkan kepercayaan publik.
Lanjut Hendardi, keretakan dan terganggunya kohesi anggota di tubuh Polri, bukan hanya akan melemahkan kepercayaan publik tetapi potensi politisasi sistematis kelompok-kelompok tertentu, baik yang sejak lama menanti momentum ini karena merasa diperlakukan tidak adil dalam penegakan hukum, maupun conflict entrerpreneurs yang memanfaatkan kelemahan Polri hari ini untuk mengganggu keamanan, melakukan tindakan terorisme, maupun menciptakan instabilitas.
Oleh karenanya, tidak ada jalan lain bagi Polri kecuali melakukan percepatan reformasi Polri dengan suatu desain komprehensif, berbasis bukti (evidence based) dan berkelanjutan. Polri harus solid, profesional, berintegritas dalam menjalankan mandat, sebagaimana pesan Jokowi.
“Karena jika tidak berbenah, pada akhirnya, kinerja Polri juga akan merusak kinerja Jokowi, karena Jokowi adalah atasan Kapolri,” terang Ketua SETARA Institute.