Dinas Nakertrans Kota Kupang Jangan Plin Plan Terkait PHK Jurnalis TIMEX

Bagikan Artikel ini

Kupang, NTTOnlinenow.com – Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakartrans) Kota Kupang diminta bersikap tegas dan jangan plin plan dalam menyelesaikan masalah perselihan ketenagakerjaan.

“Kesimpulan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Kupang yang berubah ubah atau plin plan tidak mencerminkan keadilan dan Kepastian hukum bagi para pencari keadilan dalam dunia ketenagakerjaan,” tegas Mikhael Feka, SH.,MH., Pakar Hukum Tenaga Kerja asal FH Unwira Kupang kepada wartawan di Kupang, Jumat (1/10/2021).

Penegasan Dosen FH Unwira ini menyikapi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atas Obet Gerimu, jurnalis harian Timor Express (TIMEX) di masa pandemi Covid-19 oleh manajemen TIMEX berbuntut kepada penolakan membayar hak-hak yang bersangkutan dengan dalih dan alasan yang mengada-ada.

“Dinas Tenaga Kerja dan Transmirgasi Kota Kupang justru harus bersikap profesional dan menjunjung tinggi keadialan dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik khususnya tentang masalah ketenagakerjaan,” imbuhnya.

Menurut Mikael Feka, hal ini agar semua pihak merasa puas dan adil oleh karena itu dibutuhkan kecermatan dan ketelitian sebagai mediator agar tidak berubah-ubah dalam membuat Kesimpulan dan menimbulkan ketidak pastian.

“Saya harapkan agar Nakertras sebagai mediator berdiri di atas semua kepentingan sehingga tidak ada yang terabaikan dan tersakiti dalam mediasi tentang masalah ketenagakerjaan,” tegasnya.

Jangan sampai akibat ketidak mampuan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam mengambil kesimpulan penyelesaian perselisihan tenaga kerja membuat ketidakpercayaan publik terhadap lembaga ini.

Untuk diketahui, PHK terhadap Obet Gerimu, jurnalis Harian TIMEX di masa pandemi Covid-19 mendapat tanggapan berbagai pihak termasuk dari LBH Pers Jakarta.

LBH Pers Jakarta yang memberi advokasi kepada Obet Gerimu dalam kesimpulannya menyatakan bahwa PHK terhadap Obet Gerimu batal demi hukum karena tidak sesuai dengan pasal 151 UU Cipta Kerja.

Pasalnya, dalam pasal tersebut mengisyaratkan bahwa PHK mesti melalui mekanisme pengadilan hubungan industrial bukan dengan cara sepihak.

LBH Pers Jakarta menyebutkan pula bahwa tindakan demosi (penurunan jabatan) yang dilakukan perusahaan tidak mendasar apalagi regulasi baik secara internal maupun eksternal tidak dapat dijadikan justifikasi untuk melakukan demosi.

Apalagi demosi yang dilakukan oleh perusahaan tidak berbasiskan pada kinerja Obed Gerimu sebagai redaktur hanya berbasiskan kepada kesewenang-wenangan.

Selain itu, LBH Pers Jakarta menyatakan bahwa surat pemanggilan dan surat peringatan sebanyak tiga kali adalah cacat hukum. Di mana pemanggilan pertama Obet Gerimu telah memenuhi sehingga surat pemanggilan selanjutnya cacat demi hukum.

Begitu pun dengan surat peringatan tidak berdasar hukum karena pada hakekatnya surat peringatan dikeluarkan mesti ada pelanggaran.

Bentuk pelanggaran yang dimaksud dalam penjelasan pasal 53 PP 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu tertentu, Alih Daya, Waktu kerja, dan Istirahat dan PHK maka terhadap hal tersebut Obed Gerimu tak satu pun melakukan pelanggaran sehingga surat peringatan sebanyak tiga kali cacat demi hukum. (*)