Perbup Penetapan dan Penegasan Batas Swapraja Insana – Biboki, Pemicu Konflik Warga Dua Kecamatan
Laporan Judith Lorenzo Taolin
Kefamenanu, NTTOnlinenow.com – Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 5 Tahun 2018 tanggal 9 Januari 2018 tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa Oenbit Kecamatan Insana dengan Desa T’eba Kecamatan Biboki Tanpah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dinilai sebagai pemicu konflik warga dua kecamatan.
Hal tersebut diungkapkan perwakilan pemuda Insana, Randy Neonbeni lantaran melihat aksi protes yang makin gencar disuarakan para tokoh adat dan masyarakat dua desa, sehingga ia meminta Buoati TTU untuk meninjau kembali Perbup dimaksud.
Ia juga menyanggah penyataan Bupati TTU, Raimundus Sau Fernandes, S.Pt bahwa Perbup Nomor 5 Tahun 2018 telah dilakukan sesuai tahapan.
“Sudah sesuai tahapan yang mana. Perbup itu saja dilakukan sepihak tanpa memberi rasa keadilan. Dalam Undang – Undang Nomor 12 tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukam Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa sistematis materi pokok dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan itu salah satunya adalah Partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, tandas Randy kepada NTTOnlinenow.com Senin (09/11/2020) di Kefamenanu.
Lanjutnya, keterlibatan masyarakat itu juga diatur dalam undang – undang.
“Jika sudah sesuai seperti yang dikatakan Bupati Mundus maka tentunya masyarakat dua desa tersebut dilibatkan. Kenyataannya masyarakat Desa Oenbit tidak dilibatkan dalam survey maupun sosialisasi seperti yang dikatakan oleh bupati Mundus dengan bukti Dokumentasi.
Untuk keterlibatan atau partisipasi masyarakat diatur dalam Bab XI pasal 96 Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 yang menyatakan bahwa:
1)Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
2)Masukan secara lisan dan/atau tertulis pada ayat (1) dapat dilakukan meliputi:
a.Rapat dengar pendapat umum
b. kunjungan kerja
c.sosialisasi dan atau
d.seminar, lokakarya dan/diskusi.
3)Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas Substansi Rancangan Peraturan Perundang-Undangan.
4)Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) setiap Rancangan Peraturan Perundang-Undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat”, beber Randy.
Ia menjelaskan lebih lanjut, dari uraian pasal 96 ayat (1), (2), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor: 15 Tahun 2019 tentang Pembentukam Peraturan Perundang-Undangan terlihat jelas bahwa Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2018 tidak pernah melibatkan masyarakat Oenbit sebagaimana diatur dalam ketentuan ini sehingga masyarakat Desa Oenbit menyatakan menolak diberlakukannya Perbup dengan suratnya nomor: 03/T.A/OBT/V/2020 sudah benar, dan kemudian dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Produk Hukum Daerah. Dalam Pasal 166 mengatur pula tentang partisipasi masyarakat dalam pembentukan produk hukum daerah, dimana dalam ayat (1) nya disebutkan, Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda, Perkada, PB KDH dan/atau Peraturan DPRD. Dalam pasal ini hanya menyebutkan produk hukum daerah adalah Perda, Perkada, PB KDH dan/atau Peraturan DPRD tidak menyebutkan tentang Perdes seperti halnya dalam Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011. Namun demikian dalam Pasal 8 UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan, (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan
Menurut Randy, Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dilarang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.
Ia melihat bahwa dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati Nomor 5 tahun 2018 bertentangan dengan 5 point penting.
Pertama, Undang-Undang nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor; 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655) dalam undang-undang ini sudah menetapkan dan mengakui batas wilayah berdasarkan wilayah swapraja yang dibuktikan dengan adanya pilar, tumpukan batu atau tanda batas lainnya, ketika Perbup ini dibelakukan maka akan bertentangan dengan aturan ini karena persoalan sebenarnya adalah pengrusakan tanda batas, bukan penetapan batas baru.
Kedua, Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dalam BAB I ketentuan Umum pasal (1) menyatakan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jadi dalam pasal ini sudah menyatakan bahwa masyarakat adat merupakan satu kesatuan dengan wilayah adatnya, sehingga PERBUB itu tidak memiliki kepastian hukum yang jelas karena penetapan wilayah adminstrasi yang baru tetap saja mengganggu masyarakat desa Oenbit yang terdiri dari beberapa suku karena yang namanya masyrakat adat sudah menjadi satu kesatuan dengan wilayah adatnya. Ini yang perlu diperhatikan oleh pak Bupati.
Ketiga, Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara Nomor: 2 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara Nomor: 8 Tahun 2007 Tentang Pembentukan 15 Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara pada pasal (1) butir m yang menyatakan bahwa Kecamatan Biboki Tanpah dengan ibu kota Oenopu sebagai hasil pemekaran dari kecamatan Biboki Selatan, maka dengan dikeluarkannya PERDA ini tentunya batas-batas wilayah kecamatan Biboki Selatan, Biboki Tanpah yang merupakan Kecamatan Pemekaran sudah memiliki wilayah dan batas-batasnya yang jelas. Mengapa Perlu dibuatkan PERBUB lagi sehingga bertentangan dan menimbulkan ketidak pastian hukum.
Keempat, Kemudian PERKADA ini juga bertentangan dengan kepentingan umum meliputi antara lain:
a.Terganggunya kerukunan antar warga masyarakat
b.Terganggunya akses terhadap pelayanan public
c.Terganggunya kegitan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
d.Diskriminasi terhadap suku, agama, kepercayaan, ras antar golongan dan gender.
Kelima, Kerangka Legal Drafting pada PERBUP Nomor 5 Tahun 2018, materi muatan tidak mencerminkan asas yang disebutkan dibawah ini sehingga PERBUB tersebut tidak berlaku:
1.Pengayoman
2.Kemanusiaan
3.Kebangsaan
4.Kekeluargaan
5.Kenusantaraan
6.Bhineka tunggal ika
7.Keadilan
8.Kesamaan kedudukan dalam hokum dan pemerintahan
9.Ketertiban dan kepastian hukum
10.Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Dan dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggara pemerintahan serta mendukung pelaksanaan reformasi birokrasi maka diterbitkanlah Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan yakni UU. Nomor 30 tahun 2014.
“Tujuan dibentuknya UU ini adalah untuk menciptakan hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas badan dan /atau Pejabat Pemerintah, memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan aparatur pemerintah serta menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam Pasal 1 angka 17 UU tersebut disebutkan bahwa asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam Pasal 10 UU Administrasi pemerintahan menyebutkan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang baik”, ungkap Randy.
Asas – asas umum dimaksud diantaranya, Pertama, Asas Kepastian Hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
Kedua, Asas Kemanfaatan, adalah manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara: (1) kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individu dengan masyarakat; (3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing; (4) kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8) kepentingan pria dan wanita.
Ketiga, Asas Ketidakberpihakan, adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.
Keempat, Asas Kecermatan, adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan.
Kelima, Asas Tidak Menyalahgunakan Kewenangan, adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.
Keenam, Asas Keterbukaan, adalah asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
Ketujuh, Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif.
Delapan, Asas Pelayanan Yang Baik, adalah asas yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Asas-asas tersebut harus menjadi landasan atau dasar bagi penyelenggara negara/ pejabat pemerintah dalam melaksanakan kewenangannya mulai dari tingkat pusat sampai ke desa.
“Selain asas-asas tersebut maka dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, asas lain yang perlu diperhatikan adalah asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (good legislation), sehingga saya melihat bahwa Peraturan Bupati atau PERKADA ini sebaiknya ditinjau kembali, agar tidak terjadi konflik antar masyarakat”, pinta Randy.
Sementara, warga dua kecamatan yang ditemui NTTOnlinenow.com Minggu (08/11/2020) menyatakan sikap, siap berperang demi mempertahankan batas tanah yang sudah merupakan wilayah masing – masing.
“Kalau pemerintah tidak bisa memperjelas dan menyelesaikan masalah batas tanah yang disengketakan, maka yang bisa menyelesaikan masalah ini hanya pertumpahan darah. Kami akan berjuang mati – matian mempertahankan tanah kami”, pungkas warga Desa Oenbit Kecamatan Insana dan Desa T’eba Kecamatan Biboki Tanpah yang ditemui secara terpisah.
Keterangan Foto : Perwakilan warga Desa Oenbit Kecamatan Insana, saat diwawancarai media