Pedagang Kuliner Oepoi Minta Komitmen Pemerintah NTT

Bagikan Artikel ini

Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Sebanyak 40 pedagang kuliner Stadion Oepoi Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang direlokasi pada 2016 lalu meminta komitmen Pemerintah NTT terhadap kesepakatan bersama pada 20 November 2016.

Koordinator Paguyuban Pedagang Kuliner Stadion Oepoi Kupang, Erna Fanggidae sampaikan ini kepada wartawan di Kupang, Sabtu (28/4/2018).

Menurut Erna, pada saat pertemuan bersama dengan Komisi III DPRD NTT dengan Pemerintah NTT, disampaikan kalau pembongkaran lapak yang sudah dibangun para pedagang dengan gedung permanen yang akan dibangun pemerintah selama empat bulan. Sambil menunggu waktu yang dijanjikan, para pedagang direlokasi di gedung olahraga milik pemerintah yang belum rampung pembangunanya.

“Namun sampai saat ini, kami masih di tempat relokasi. Lamanya kami di tempat sementara, karena pemerintah tidak becus kelola bangunan,” kata Erna.

Tentang kemungkinan pemerintah melakukan pelelangan untuk menempati lapak wisata kuliner yang bangunnya sudah permanen, dia tegaskan, pemerintah tidak boleh ambil kebijakan seperti itu. Sesuai kesepakatan awal, lapak permanen yang sudah dibangun itu diperuntukkan bagi 40 pedagang yang sebelumnya direlokasi.

Pemerintah tidak boleh membuat konfrontasi antara kelompok yang satu dengan yang lain, dan antara 40 pedagang lapak yang direlokasi dengan pemerintah. Karena dari awal, tidak ada kesepakatan untuk memberi ruang bagi kelompok lain dan tidak ada kesepakatan pelelangan.

“Jika pada saat penempatan ada pedagang dari 40 pedagang yang ditolak, saya katakan, tolak satu sama dengan tolak semua. Kita akan ambil langkah hukum untuk menggugat pemerintah,” tegas Erna.

Dia menyampaikan, sebenarnya sejak awal pembangunan lapak permanen wisata kuliner Kupang sudah bermasalah. Dimana, retribusi sewa lahan ke sewa gedung, hingga sekarang belum diatur dalam Perda maupun peraturan gubernur(Pergub). Buktinya, ketika pihaknya menanyakan ini setiap kali mendatangi Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), tidak pernah disampaikan.

Semestinya, sebelum tim aprisal menentukan besaran retribusi dari sewa lahan Rp25.000/ meter menjadi sewa gedung senilai Rp14,5 juta/ tahun, melakukan sosialisasi kepada 40 pedagang dan melakukan analisasi dan perhitungan setelah mendapat masukan. Karena kemampuan para pedagang tidak lebih dari Rp7 juta/tahun. Besaran retribusi tidak boleh memberatkan pedagang kecil, karena prinsip pengelolaan aset adalah menyangkut kesejahteraan rakyat, bukan untuk korporasi.

“Memang kami mau harga sewa dinaikkan, tapi harus sesuai kemampuan kami. Supaya transparan, kami akan setor uang retribusi ke Bank NTT,” ujar Erna.

Dia menambahkan, bangunan lapak permanen yang ada tidak memenuhi aspek estetika, karena tidak dilengkapi dengan MCK di setiap lapak. Walau demikian, para pedagang siap tempati sesuai kesepakatan awal. Kalau ada kebijakan lain, akan dibicarakan setelah lapak itu ditempati 40 pedagang yang sebelumnya direlokasi.