Polisi Amankan Nahkoda Beserta ABK Penangkap Penyu Hijau

Bagikan Artikel ini

Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Aparat Direktorat Kepolisian Perairan Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) mengamankan seorang nahkoda kapal bernama Oleng Wetang beserta dua orang anak buah kapal (ABK) karena tertangkap tangan menangkap penyu hijau (Celonia mydas).

Direktur Kepolisian Perairan Polda NTT Komisaris Besar Budi Santoso menyampaikan hal ini kepada wartawan dalam konferensi pers di Mapolda NTT, Rabu (19/4/2017). Kombes Budi Santoso didampingi Kabid Humas Polda NTT AKBP Jules Abraham Abast bersama sejumlah pejabat Ditpolair Polda NTT.

Menurut Budi, diamankannya nakhoda kapal bersama dua orang ABK tersebut karena saat ini semua jenis penyu yang ada di perairan Indonesia telah dilindungi oleh pemerintah Republik Indonesia.

Sebagai payung hukum terhadap satwa-satwa yang berstatus dilindungi adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Budi menjelaskan, kasus itu bermula pada Sabtu 15 April 2017 sekitar pukul 21.45 Wita, Kapal Patroli (KP) Palue XXII-3006 berpatroli dan melakukan pemeriksaan terhadap kapal tanpa nama yang dinahkodai Oleng Wetang beserta dua ABK di Perairan Kener Solor, Kabupaten Flores Timur.

“Karena mencurigai aktivitas kapal tersebut, kemudian petugas melakukan pemeriksaan dan ditemukan di dalamnya seekor penyu berukuran besar yang masih hidup dan dalam posisi terikat,” ungkapnya.

Baca : Gunakan Bom Ikan, Nelayan Flotim Ditangkap Polisi

Kemudian oleh Komandan Kapal Patroli Palue, penyu hijau tersebut dilepaskan ke laut dengan harapan agar dapat kembali bersatu dengan habitatnya. Sedangkan para pelaku langsung diamankan dan dilakukan pemeriksaan.

“Rupanya para nelayan ini saat mencari ikan, tanpa sengaja penyu tersebut ikut tersangkut ke dalam alat tangkapan mereka. Namun salahnya karena para pelaku tidak melepaskan lagi penyu itu,” ujarnya.

Karena itu, terhadap para pelaku diberikan peringatan keras, dan aparat melakukan pembinaan serta pemahaman terkait aturan tentang perlindungan semua jenis spesies penyu di Indonesia, yang bilamana dilanggar maka terdapat konsekuensi sejumlah hukum.

“Hal ini bagian dari Polmas. Para pelaku juga berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya, sehingga mereka hanya diberikan pembinaan saja,” tandasnya.

Untuk diketahui, secara internasional perdagangan semua jenis penyu diatur dalam konvensi CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna) dimana penyu masuk adalam Appendix I CITES yang berarti perdagangan secara internasional adalah dilarang. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini semenjak tahun 1978.

Secara regional telah disepakati dalam bentuk sebuah MoU yang dikenal dengan IOSEA MoU. Indian Ocean – South East Asian Marine Turtle Memorandum of Understanding (IOSEA MoU) ini adalah sebuah kesepakatan antar negara-negara dengan tujuan untuk melakukan perlindungan, pengawetan, meningkatkan dan menyelamatkan habitat penyu di kawasan samudera Hindia dan Asia Tenggara, bekerjasama dalam kemitraan dengan berbagai pelaku dan organisasi.