Dari Flores Untuk Indonesia

Bagikan Artikel ini

Oleh Drs. GF. Didinong Say
Jokowi adalah presiden yang paling sering mengunjungi NTT. Jokowi datang dengan membawa sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah dilaksanakan di NTT. Kehadiran Jokowi dan bukti pembangunan itu merupakan manifestasi cinta sekaligus legacy konkrit percepatan dan pemerataan pembangunan di provinsi miskin dan tertinggal itu. Terima kasih pak Jokowi.

Dalam rangka kegiatan Peringatan Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni 2022, Jokowi kembali akan mengunjungi NTT. Sangat tepat rencana ini. Ende adalah tempat di mana Bung Karno pencetus Pancasila pernah diasingkan Belanda selama 4 tahun. Di antara kurun tahun 1934 – 1938 itu, Bung Karno hidup dan menghirup udara kota Ende. Bung Karno sangat akrab dalam berinteraksi dengan masyarakat kota Ende yang beragam. Bung Karno rajin membaca berbagai buku di Ende, dan lain sebagainya. Ende sebagaimana pengakuan Bung Karno sendiri, ternyata menjadi milieu yang ideal untuk menggali dan merenungkan prinsip prinsip dasar bagi peri kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bung Karno ke Flores

Tahun 1950, tak lama setelah pengakuan Belanda secara definitif atas kedaulatan negara Indonesia yang disusul dengan likuidasi Republik Indonesia Serikat (RIS) ke dalam pangkuan NKRI 17 Agustus 1950, Bung Karno, proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia itu datang menyambangi kota Ende. Itu bukan sekedar kunjungan napak tilas nostalgia.

Pada kunjungan yang pertama itu, Bung Karno sebagai presiden secara jelas ingin meyakinkan bahwa orang Flores yang katolik itu dapat hidup dengan aman dan nyaman sebagai warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Flores sebelum pengakuan kedaulatan Belanda itu merupakan bagian dari wilayah Sunda Kecil yang tercakup dalam Negara Indonesia Timur (NIT). NIT merupakan proyek ambisius federalisme van Mook untuk memecah belah dan bisa kembali menjajah Indonesia. Menjelang 17 Agustus 1950, NIT meleburkan diri kembali ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Saat itu, Flores merupakan wilayah terakhir dari NIT yang menyatakan persetujuannya. Tentu ada sebab dan alasan tersediri atas sikap tersebut.

Nasionalisme Orang Flores

Keputusan masyarakat Flores untuk bergabung kembali dalam NKRI itu didorong antara lain oleh suatu bentuk kesadaran kebangsaan dari berbagai stakeholder Flores di masa itu.

Tak dapat dipungkiri bahwa kesadaran kebangsaan di kalangan masyarakat Flores itu bertunas dan semakin terpacu oleh kehadiran seorang interniran asal Jawa bernama Soekarno di kawasan Ambugaga kota Ende pada tahun 1930 an. Kesadaran kebangsaan masyarakat Flores di Ende misalnya sungguh dicerahkan melalui berbagai pertunjukan tonil, maupun dalam perbincangan sehari hari dengan Bung Karno.

Bung Karno semasa pembuangan di Ende, sering pula datang mencari anak anak kecil yang cakap berbahasa Melayu dan bahasa Belanda di Schakel School Ndao Ende untuk diajak bermain dalam tonil yang ditulis dan disutradarainya sendiri. Di sekolah lanjutan berbahasa Belanda di Ndao Ende itu, Bung Karno secara simbolik (tanpa disadari oleh marsose Belanda yang selalu mengawal dan mengawasi dirinya), gemar membangkitkan mimpi dan inspirasi dalam diri anak anak murid Schakel School tentang cita cita dan kepahlawanan. Para murid Schakel yang berasal dari seluruh pulau Flores itu sungguh terpukau oleh gaya bicara dan kisah kisah heroik yang diceriterakan Bung Karno. Kalimat yang sering diucapkan Bung Karno kepada para murid Schakel adalah… “Gantungkan cita citamu setinggi bintang di langit karena kalian adalah teruna teruna harapan bangsa…”

Ceritera beredar tentang kehadiran Bung Karno di Ende berikut semangat dan perjuangannya tak ayal menyebar ke seluruh pelosok Flores, dibawa oleh para murid Schakel itu ketika liburan sekolah. Di kalangan masyarakat Flores kala itu muncul rasa iba dan simpati serta hormat kepada Bung Karno.

Frans Seda

Frans Seda dikenal sebagai tokoh asal Flores yang telah berjasa bagi bangsa dan negara. Frans Seda adalah salah satu anak murid di Schakel School Ndao ketika Bung Karno dibuang di Ende. Bisa jadi Frans Seda ini pernah ikut bermain dalam tonil Bung Karno di Ende.

Setamat Schakel School Ndao, 1939 Frans dan kawan kawan berangkat ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan. Namun kedatangan balatentara Jepang pada tahun 1942 membuat pendidikan Frans Seda dan kawan kawan dari Flores sempat terhambat beberapa tahun. Mereka bertahan hidup di Jogyakarta yang kemudian ternyata sempat menjadi ibukota RI pasca kemerdekaan.

Pada masa revolusi kemerdekaan 1945 – 1949, alih alih mendukung Belanda yang ingin kembali menjajah, pemuda Frans Seda dan kawan kawan pelajar asal Flores lain di Jogya justru memutuskan untuk berjuang di sisi republik pimpinan Soekarno. Padahal kaum Belanda itu pernah menjadi guru ataupun ‘gembala’ yang sangat dihormati mereka.

Selanjutnya dalam rangka mengisi kemerdekaan, Frans Seda, salah seorang putera terbaik Flores itu selalu berada di garda terdepan membela kepentingan bangsa dan negara. Sepanjang hayat, di setiap era, Frans Seda dalam sepak terjangnya tampil menonjol untuk menjalankan dharma bhakti bagi bumi pertiwi tercinta. Catatan perjuangan yang panjang, yang menegaskan bahwa orang Flores juga merupakan anak kandung yang sah sekaligus pemilik saham dari NKRI.

Dari Flores Untuk Indonesia

Pada momentum peringatan hari lahir Pancasila 1Juni 2022 di Ende, masyarakat NTT, khususnya orang Flores boleh mengharapkan agar Gubernur Laiskodat secara lantang juga akan mengumandangkan sebentuk aspirasi dari Flores NTT untuk Indonesia. Yaitu, agar Jokowi mendengarkan dan selanjutnya dapat menetapkan Frans Seda sebagai Pahlawan Nasional. Sejauh ini belum ada satu pun tokoh pendahulu asal Flores yang telah berjasa bagi bangsa dan negara menyandang gelar sebagai Pahlawan Nasional.

Nasionalisme orang Flores khususnya dan NTT umumnya akan semakin teguh dan mantap bila tokoh asal Flores NTT yang telah berjasa bagi negara dan bangsa seperti Frans Seda ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Orang Flores juga membutuhkan simbol kebanggaan dan martabat dalam hal kesetaraan sebagai sesama anak bangsa melalui glorifikasi terhadap nilai perjuangan sosok Frans Seda, salah seorang putera terbaiknya.