Sekjen AJI: Indeks Kebebasan Pers Indonesia Masih Rendah
Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Revolusi Reza menyebut indeks kebebasan pers Indonesia masih rendah yaitu berada di peringkat ke- 124 dunia.
Hal ini disampaikan Revolusi dalam kegiatan Konferensi Kota (Konferta) AJI Kota Kupang Tahun 2019 dan Penguatan Kapasitas Jurnalis, di Kupang, Sabtu (13/4/2019).
Menurut Revolusi, Indonesia yang berada di peringkat 124, tak lebih baik dari negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) yang berada di peringkat ke-95 dan Afghanistan pada peringkat ke-118.
“Angka kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih cukup tinggi, dan indeks kebebasan pers kita masih di atas peringkat seratus, tepatnya 124 tingkat global. Bahkan posisi 124 ini lebih buruk dibandingkan dengan Timor Leste yang notabene dulunya merupakan bagian dari Indonesia,” ungkapnya.
Dia mengatakan, buruknya indeks kebebasan pers di Indonesia disebabkan karena masih sering terjadi aksi-aksi kekerasan terhadap jurnalis. Selain itu, hingga saat ini masih ada pekerjaan rumah (PR) yang belum terselesaikan terkait 8 kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia yang belum terungkap.
“Ini yang membuat indeks kebebasan pers kita masih cukup rendah, sehingga ini menjadi pekerjaan rumah bersama, dan tentu jadi perhatian AJI khususnya Bidang Advokasi,” ujarnya.
Revolusi menyebutkan, berdasarkan catatan AJI Indonesia, rata-rata setiap tahun dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, terjadi sebanyak sekitar 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis di seluruh wilayah Indonesia.
“Artinya jika dihitung rata-rata hampir terjadi 5 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam sebulan. Kita berharap angka kekerasan terhadap jurnalis ini bisa berkurang, namun nyatanya kasus ini masih cukup tinggi,” sebutnya.
Selain itu, dia juga menyampaikan terkait peningkatan profesionalisme jurnalis. Karena berdasarkan catatan Dewan Pers, aduan masyarakat terkait dugaan-dugaan pelanggaran media cukup tinggi, berkisar 600 aduan setiap tahun.
“Kalau 600 aduan ini jika ditarik rata-rata berarti satu bulan Dewan Pers menerima sebanyak 50 aduan, dan mayoritas aduan ini terkait dengan profesionalisme pemberitaan dan juga etik,” paparnya.
Dia berargumen, di satu sisi ketika ada aduan ke Dewan Pers, menunjukkan bahwa ada kesadaran publik untuk menyelesaikan sengketa pers melalui jalur yang benar. Tetapi di sisi lain, tingginya angka aduan ini berarti masih ada banyak catatan yang harus dibenahi dalam dunia pers di Indonesia.
“Untuk itu, menjadi penting adanya program-program yang terkait dengan peningkatan profesionalisme jurnalis di Indonesia,” tandas Revolusi.