UU Tentang Pemberantasan TPPO Paling Sulit ‘Diterapkan’ di Indonesia
Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana), Deddy R. Ch. Manafe mengatakan, Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2017 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) paling sulit ‘diterapkan’ di Indonesia.
Hal ini disampaikannya saat menjadi pemateri pada kegiatan Diskusi Terbatas “Keputusan Gubernur NTT tentang Penghentian Pemberangkatan Calon Pekerja Migran Indonesia (PMI)/ PMI Asal Provinsi NTT”, Senin (25/3/2019) di Kupang.
Kegiatan diskusi terbatas ini diselenggarakan oleh Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dengan menghadirkan tiga orang narasumber, yakni Sekretaris Dinas Koperasi, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kopnakertrans) Provinsi NTT, Untung Sudrajad, Akademisi dari Fakultas Hukum Undana, Deddy Manafe dan Anggota DPRD Kabupaten TTU, Maria F. Tahu.
Menurut Deddy, undang-undang tersebut paling sulit diterapkan karena dari segi definisi ada 6 tindakan (strafbaarfeit), 8 cara (modus operandi), 1 maksud (naste doel), ada 2 tempat kejadian perkara (locus delicti), dan 2 tujuan (mansre). Lima komponen unsur ini menyulitkan aparat penegak hukum ketika menerapkannya ke dalam pasal, atau ayat yang berkaitan dengan kasus TPPO.
“Dalam perkuliahan sering saya sampaikan bahwa undang-undang ini adalah undang-undang yang paling maju, karena konstruksi adalah undang-undang masa depan yang dihadirkan di masa kini. Ini yang menjadi soal bagi kita, sehingga sulit untuk dalam tanda kutip “diterapkan” di Indonesia,” ungkapnya.
Deddy menjelaskan, undang-undang ini bisa diterapkan apabila dari 5 komponen unsur tersebut minimal masing-masing unsur terpenuhi satu komponen. Misalnya, dalam tindakan itu minimal ada perekrutannya, kemudian proses perekrutan dilakukan dengan satu cara yang melanggar misalnya dengan ancaman kekerasan.
“Kemudian maksudnya harus ada, yaitu supaya orang itu lepas kendali dari orang yang seharusnya mengendalikan dia, misalnya anak dari orang tuanya. Selanjutnya, TKP minimal di dalam negara, dan tujuannya minimal sudah muncul dalam kejadian itu yaitu eksploitasi, meskipun dia belum tereksploitasi,” jelas Deddy.
“Penafsiran saya selama ini dalam memfasilitasi ke mana-mana, karena ini belum ada panduannya tetapi penafsiran saya adalah minimal kalau mau undang-undang ini bisa diterapkan, yaitu dari 5 komponen unsur yang ada ini, minimal masing-masing unsur terpenuhi satu komponen,” imbuhnya.
Dengan terpenuhinya unsur-unsur ini, lanjut dia, maka sebuah kasus bisa diproses. “Nah ini yang kita seringkali harus betul-betul memberi pemahaman yang cukup kepada teman-teman penegak hukum, karena kasus trafficking adalah kasus yang paling rumit. Betapa rumitnya penerapan kasus trafficking menggunakan undang-undang ketika ada kasus,” tandasnya.