Pengembangan Kawasan Industri Bolok Timbulkan Konflik Sosial

Bagikan Artikel ini

Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) menemukan berbagai persoalan sosial di masyarakat terkait dengan pengembangan Kawasan Industri Bolok di Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Hal ini mengemuka dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Badan Pembantu Pelayanan Advokasi, Hukum dan Perdamaian dan Unit Pembantu Pelayanan Pengembangan Teologi dan Pembinaan Anggota Gereja Majelis Sinode GMIT di Aula Lantai Tiga Kantor Sinode GMIT, Jumat (26/5/2017).

Ketua Badan Pembantu Pelayanan Advokasi Hukum dan Perdamaian GMIT, Pendeta Emy Sahertian mengungkapkan, belakangan ini mencuat persoalan tentang pelepasan tanah masyarakat untuk dimanfaatkan sebagai kawasan industri khususnya di bentangan wilayah Kupang Barat dan lebih khusus lagi akan dibangun PT Semen Indonesia yang akan mengambil sekitar  440 ha tanah ulayat beberapa suku di wilayah Kuanheun, Oematnunu dan Oenaek.

Termasuk bentangan Laut Lilifuk yang sudah ditetapkan sebagai kawasan Taman Laut Sawu dan sekitarnya dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 6/KEPMEN-KP/2014 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan sekitarnya di NTT, di mana zona laut Lilifuk, Kuanheum sejak lama dianggap sebagai kebun laut dalam kearifan lokal suku Baineo.

Menurut Emy, beberapa suku atau keret setempat menolak karena pengalaman kegagalan PT Semen Kupang, namun sebagian lagi telah menerimanya karena janji pelepasan tanah yang luas itu mencapai miliaran rupiah  sebagai biaya pembelian tanah dengan harga negosiatif Rp.15.000/m. Beberapa suku sudah menerima uang sekitar 20 persen.

“Hal ini menimbulkan keresahan tersendiri bagi beberapa suku yang menolak akan kehadiran  perusahaan yang akan mengeksplorasi dan mengeksploitasi bentangan tanah, terutama tanah para suku suku yang berada diluar lingkaran konsesi,” ungkapnya.

Mereka adalah anggota jemaat Gereja Masehi Injili di Timor yang sebagian merasa terancam alamnya sehingga melalui pimpinan jemaat meminta pendampingan Sinode GMIT.
Dalam konteks ini maka dirasa perlu untuk adanya pengkajian mendalam dan utuh terhadap persoalan ini melalui sebuah diskusi expertis dalam semangat eklesiologi GMIT.

Karena itu, GMIT mencoba mencerna beberapa pertanyaan mendasar tentang persoalan ini. Apakah pengembangan kawasan industri yang mengeksplorasi dan mengeksploitasi bentangan tanah dan laut di Kupang Barat akan membawa kesejahteraan berjangka panjang bagi rakyat setempat baik dari segi pengembangan ekonomi, ramah lingkungan dan tidak merusak kawasan kawasan tangkapan air (Kars) yang diduga ada sepanjang daratan Kupang Barat dan sekitarnya menimbulkan konflik sosial.

Baca : Butuh 500 Hektar Bangun Bandara Berstandar Internasional

“Bagaimana mengawal kawasan laut yang masuk dalam Taman Laut yang oleh kearifan lokal terdapat kebun laut untuk melindungi ikan, terumbu karang dan biota laut lainnya sebagai ciptaan Tuhan yang mulia dan yang memberi kesejahteraan jangka panjang, dimana merupakan kesatuan dengan bentangan tanah yang akan dilepas sebagai wilayah konsesi operasi industri semen,” tandas Pdt. Emy.

Sementara itu, Kepala Badan Pengelola Kawasan Industri Bolok, Emelia J. Nomleni mengatakan, Kawasan Industri Bolok memiliki asas legal yang jelas yaitu sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1997.

“Tanggungjawab pengelolaan kawasan industri ini ada pada Biro Ekonomi Setda Provinsi NTT, tetapi secara sporadis ada di masing-masing instansi untuk memberikan ijin,  ada dari Aset, BKPM dan juga Biro Ekonomi sendiri, sehingga ketika kami turun survei ternyata ijin-ijin itu tidak melalui satu pintu,” ujarnya.

Dia mengatakan, pihaknya ditugaskan untuk melakukan penataan kawasan industri, dan Kawasan Industri Bolok memiliki lahan seluas 900 ha yang tersebar di tiga desa yakni Desa Bolok, Nitneo dan Kuanheun. Lahan terbesar ada di dua desa yakni Bolok dan Kuanheun.

“Dari data yang ada, dari 900 ha itu ada sekitar 500 ha sudah dibebaskan, sementara sisanya sekitar 400 ha belum dibebaskan. Ada dua model pembebasan yaitu lahan dibebaskan lunas dan dibebaskan panjar. Dari 500 ha yang sudah dibebaskan lunas dan panjar tersebut, ada 191 ha yang sudah disertifikasi,” katanya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, Deddy Manafe mengatakan, untuk menghadirkan industri di NTT diperlukan kajian-kajian mendalam sehingga kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak membawa dampak buruk bagi masyarakat. Karena peran atau kehadiran negara adalah untuk mengupayakan kesejahteraan atau kemakmuran bagi rakyatnya.

Dalam kaitannya dengan persoalan Kawasan Industri Bolok yang dihadapi di lapangan maka diperlukan rujukan yang tepat untuk menyelasikan persoalan tersebut. Rujukannya adalah Pancasila, UUD 1945 dan UU Pokok Agraria.

“Bahwa tujuan bernegara ada pada sila ke lima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Makna dari sila ini adalah negara hadir untuk mengemansipasi, melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan dan mendamaikan rakyat, terutama yang paling lemah,” ujarnya.