Jokowi Perlu Wujudkan Pusat Legislasi Nasional

Bagikan Artikel ini

Laporan Frans Watu
Jakarta, NTTOnlinenow.com – SETARA Institute menemukan banyaknya produk hukum daerah di wilayah Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogjakarta yang berpotensi diskriminatif terhadap akese pelayanan publik di dua daerah tersebut. Hal ini terungkap dalam diskusi publik yang dilaksanakan SETARA Institute di Hotel Ashley, Jl Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2019).

Diskusi yang membahas langkah-langkah konkrit atas berbagai penelitian yang dilakukan oleh SETARA Institute, menghadirkan narasumber Plt.Dirjen Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri Drs.Akmal Malik, M.Si, Kepala Badan Kesbangpol Propinsi Jawa Barat Dr. Heri Hidayat, Kepala Badan Kesbangpol DIY Agung Sutiono ,SH, Komisioner Ombusmen RI Dr.Nini Rahayu,SH,M.Si, Kasubdit Harmonisasi Bidang Pertahanan dan Keamanan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementrian Hukum dan HAM Hernadi,SH,MH, Walikota Bogor Dr. Bima Arya Sugiarto, dan Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani.

Hasil penelitaian SETARA Institute mengkaji 91 produk hukum di Jawa Barat dan 24 produk hukum di DI.Yogjakarta yang berpotensi diskriminatif terhadap akses pelayanan public.

Kajian SETARAInstitute ditujukan untuk mencari jalan advokasi dan penyikapan ketatanegaraan atas produk hukum daerah yang intoleran-diskriminatif. Hal ini bukan hanya melembagakan diskriminasi, sebagaimana temuan Komnas Perempuan tahun 2009, tetapi berdampak terhadap pemenuhan hak atas pelayanan publik yang adil, setara, dan berkualitas.

Dalam paparannya Hendardi menyampaikan bahwa riset ini menggambarkan bagaimana produk hukum daerah daerah dalam berbagai bentuknya, menimbulkan dampak diskriminasi, baik diskriminasi yang bersifat tidak langsung (direct discrimination) maupun diskriminasi yang tidak langsung (indirect discrimination).

Riset ini memperkuat bahwa keberadaan Perda-Perda diskriminatif adalah bentuk pelanggaran HAM (violation by rule) dan menuntut penyikapan ketatanegaraan yang holistik, tegas Ketua SETARA Institute Hendardi dalam sambutan pembukaan “dialog publik dampak produk hukum Daerah terhadap akses pelayanan publik”.

Menurut Hendardi, rencana pembentukan Badan Pusat Legislasi Nasional yang disampaikan Presiden Joko Widodo adalah peluang terbaik untuk melakukan dua hal sekaligus. Pertama, merespon produk hukum daerah diskriminatif yang existing yang berujung pada rekomendasi political review pada masing-masing daerah yang menerbitkannya sehingga tidak menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 137/PUU-XIII/2015 dan nomor 56/PUU-XIV/2016. Kedua mendesain sekaligus menjalankan peran pengawasan terintegrasi dan berkelanjutan rancangan peraturan daerah dan produk hukum daerah lainnya.

Pembentukan Badan Pusat Legislasi Nasional membutuhkan rekonsiliasi kewenangan pengawasan Kementrian Dalam Negeri dan kewenangan Kementrian Hukum dan HAM sekaligus memutus tarik menarik kewenangan dan ego sentral dua kementrian ini, dalam penanganan produk hukum daerah.

Menurut SETRA Institute, untuk membentuk Badan ini Jokowi cukup menerbitkan Peraturan Presiden dengan menghimpun kewenangan-kewenangan eksekutif yang tersebar di Kemetrian dan Pemerintah Propinsi sebagai tugas pokok Badan yang akan dibentuk.

Dalam jangka menengah penguatan kewenangan Badan baru harus dilakukan dengan merevisi secara terbatas UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU 12/2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Sebelum Badan Pusat Legislasi Nasional terbentuk, pemerintah pusat melalui Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Hukum dan HAM membentuk Satua Tugas (Taskforce) untuk menyusun indeks kebijakan daerah yang terpusat dan satu data (repository) yang menghasilkan data dan rekomendasi revisi/pencabutan produk hukum daerah, dalam kerangka yang tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.

Secara paralel, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang menerbitkan produk hukum daerah diskriminatif melakukan kajian dan revisi serta pemulihan hak atas pelayanan publik, melalui 3 langkah ; Pertama, untuk jenis Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota, pemerintah daerah bisa langsung melakukan revisi. Kedua, untuk jenis produk hukum daerah dalam bentuk Perda, Gubernur, dan Bupati/Walikota mengambil prakarsa melakukan legislative review melalui mekanisme legislasi di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga, Pemerintah Daerah melakukan pemulihan segera terhadap kelompok terkena dampak dengan memenuhi hak-hak atas pelayanan public dan atau menyusun panduan pelayanan publik baru yang toleran dan antidiskriminasi.