Toga, Polisi dan Praktisi Media Harapkan Pilkada NTT Damai Tanpa Politisasi SARA

Bagikan Artikel ini

Laporan Jean Alfredo Neno
Kupang, NTTOnlinenow.com – Politisasi SARA (suku, ras, agama dan antargolongan) atau politik identitas sering kali dijadikan isu murahan untuk memenangkan suatu perhelatan politik. Karena itu, tokoh agama (Toga), polisi dan praktisi media berharap Pilkada di Nusa Tenggara Timur (NTT) berlangsung damai tanpa politisasi SARA.

Hal ini mengemuka dalam dialog interaktif yang diprakarsai oleh orang muda lintas agama yang tergabung dalam Komunitas Peacemaker Kupang (KOMPAK) di Kupang, Kamis (1/3/2018) dengan tema “Jaga NTT Tetap Damai.”

Dialog yang dipandu Haris Oematan itu mengahdirkan empat nara sumber masing-masing Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTT Abdul Kadir Makarim, Perwakilan Sinode GMIT Pdt. Yandi Manoben, Pemimpin Redaksi Harian Kursor sekaligus Aktivis Perempuan NTT, Anna Djukana dan Kasubdit Ops Polda NTT, AKBP Johanis Maloama.

Diberikan kesempatan sebagai pembicara pertama, Anna Djukana mengatakan, secara global politik identitas berbasis SARA tidak ada. Pada tataran elit mengatakan pilkada di NTT cukup demokratis, namun pada politik praktis di tataran arus bawah hal tersebut dipakai untuk mendulang suara. “Jadi sebenarnya dipermukaan itu tidak nampak tapi di akar rumput isu ini dimainkan cukup kencang oleh kaum intelektual atau tim sukses untuk mendulang suara demi memenangkan calonnya. Isu ini cukup ampuh dipakai untuk memainkan emosional pemilih,” ungkapnya.

Karena itu, menurut dia, pendidikan politik sangat penting diperlukan untuk membentengi masyarakat agar tidak terjebak dalam isu-isu politik yang dimainkan. Masyarakat harus dicerdaskan sehingga menjadi pemilih rasional yang mampu memahami visi, misi dan program para calon pemimpin, supaya memberikan pilihannya dengan tepat.

Anna Djukana berharap, ada upaya bersama memutus mata rantai pilihan politik primordial, yang mana memilih pemimpin berdasarkan SARA, karena semestinya memilih berdasarkan kualitas dan integritas calon pemimpin berlandaskan semangat keberagaman. “Ingat, ketika kita salah memilih pemimpin berarti sama dengan kita telah membunuh masa depan kita sendiri,” tegasnya.

Johanis Maloama mengatakan, politisasi SARA sangat kencang dimainkan terutama di media sosial (Medsos). Karena itu pihak kepolisian telah membentuk tim khusus yang tugasnya berpatroli di dunia maya, sehingga jika akun-akun medsos yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang ITE, maka langsung diambil tindakan. “Kepolisian tidak tinggal diam dengan penyebaran berita hoax dan juga pelanggaran ITE lainnya, semua komunikasi melalui medsos selalu dimonitor, sehingga jika ada akun yang mencemarkan nama negara maka tiba-tiba saja sudah dijemput polisi,” katanya.

Dia menyampaikan, Polda NTT sudah mengamankan sebanyak 18 orang yang terlibat saling menghujat di medsos karena berhubungan dengan urusan pilkada dan saat ini semuanya sedang diproses sesuai aturan hukum yang berlaku. “Dari 18 orang ini ada yang terlibat masalah pilkada dan ada juga yang mencemarkan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usia mereka rata-rata 16-25 tahun,” ungkapnya.

Dia berharap setiap orang menjadi polisi bagi dirinya sendiri, keluarga, tetangga, dan juga lingkungan sekitarnya untuk menjaga situasi kamtibmas tetap kondusif, aman dan damai. “Kami mengimbau, jadilah mata dan telinganya polisi, maksudnya adalah apabila mendengar atau melihat sesuatu yang melanggar atau bertentangan dengan aturan pemilu agar segera dilaporkan kepada pihak berwajib untuk segera diamankan,” katanya.

Abdul Kadir Makarim mengatakan, politisasi SARA sering muncul saat ada proses pilkada, meski hal itu tidak secara terang-terangan atau nampak di permukaan. Namun hal ini tentunya sangat berbahaya jika tidak diantisipasi sedini mungkin. Karena bisa mengakibatkan disharmonisasi dalam hubungan kemasyarakatan.

Dia berharap, generasi muda agar menjadi pemilih cerdas, yang memilih menggunakan hati nurani dengan mempelajari visi, misi dan program dari semua calon pemimpin sehingga tepat dalam menentukan pilihan. “Perlu menghindari isu SARA karena bisa berakibat fatal. Tentu kita semua memiliki harapan yang sama agar jangan sampai terjadi keributan di NTT hanya karena SARA,” harapnya.

Pdt. Yandi Manoben mengatakan, NTT memiliki keunikan tersendiri dibanding daerah lain di Indonesia, pasalnya NTT mempunyai keragaman yang sempurna. Kerena itu melihat Indonesia harusnya melihatnya di NTT. Sehingga pesannya adalah bahwa resiko mengelola perbedaan di NTT harusnya lebih susah, tetapi harus disyukuri bahwa hari ini NTT dinobatkan sebagai Nusa Terindah Toleransi. “Untuk itu jangan merusak apa yang sudah dibangun dengan susah payah di daerah ini dengan isu-isu menyesatkan yang bisa menimbulkan perpecahan hanya karena urusan pilkada,” katanya.

Dia menegaskan bahwa masyarakat lebih berharga dari para calon pemimpin, karena sesungguhnya kekuasaan ada di tangan rakyat yang memiliki hak menentukan pemimpinnya. Karena itu masyarakat harus cerdas dalam menentukan piilihan sehingga tujuan mendapatkan kesejahteraan itu bisa tercapai. “Saya ibaratkan dengan politik numpang ojek, jadi kita tidak perlu jadi pengendaranya, cukup duduk di belakang tapi kita yang tentukan mau serong kiri atau serong kanan, kalau dia ngebut kita bisa ingatkan supaya melambat, bahkan boleh dikata keselamatan kita sampai ke tujuan tergantung pada pilihan kita sendiri,” ujarnya.